JAKARTA, KOMPAS.com - Kehadiran "pak ogah" menjadi sorotan tersendiri dewasa ini. Ada pengguna jalan yang terbantu, tetapi tak sedikit juga yang menilai meresahkan.
Pak ogah atau juga sering disebut "polisi cepek" biasanya mengatur lalu lintas di titik jalan tertentu seperti di pertigaan atau putaran baik yang tidak dijaga polisi.
Mayoritas metode yang dipakai ialah mendahulukan pengemudi yang memberikan uang kecil sehingga tak jarang justru membuat macet dan mengesampingkan hak pengguna jalan lain.
Pemerhati masalah transportasi, Budiyanto, mengatakan, keberadaan pak ogah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
"Jelas melanggar hukum karena ada kegiatan-kegiatan menghentikan, mengarahkan, dan memerintahkan kendaraan untuk jalan terus dan sebagainya, padahal pak ogah tidak memiliki kewenangan untuk itu," kata Budiyanto, Jumat (21/5/2021).
Budiyanto mengatakan, kegiatan penjagaan dan pengaturan lalu lintas merupakan kegiatan preemtif, preventif, dan upaya paksa yang hanya dapat dilakukan oleh petugas kepolisian.
"Apalagi dalam praktiknya kadang pak ogah melakukan pengaturan lalu lintas berdasarkan selera dan kurang memperhatikan dari aspek lalu lintas dan mereka pada umumnya akan mendahulukan pengguna jalan yang memberikan imbalan," katanya.
"Ironisnya lagi, dalam praktiknya, ada yang minta imbalan secara paksa dan melakukan tindakan-tindakan lain yang melanggar hukum, misal menggores kendaraan yang tidak memberikan sesuatu dan lain-lain," katanya.
Budiyanto mengatakan, keberadaan pak ogah merupakan problem sosial dan pelanggaran hukum yang perlu diselesaikan secara bijak baik oleh pemda maupun pemangku kebijakan lain.
"Langkah-langkah yang solutif dan terintegrasi perlu ditonjolkan dalam bentuk edukasi, pelatihan yang mengarah pada kesempatan bekerja yang lebih layak, dan kegiatan yang lebih produktif," katanya.
https://otomotif.kompas.com/read/2021/05/21/153100515/kiprah-pak-ogah-atur-lalu-lintas-melawan-hukum