JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Thailand mengakui telah memicu efek domino karena sudah memberikan subsidi besar terhadap produsen kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) asal China dalam dua tahun belakangan.
Langkah yang awalnya bertujuan untuk mempercepat pembentukan ekosistem EV nasional ini berakhir pada perang harga karena adanya kelebihan pasokkan mobil listrik dari China.
Sehingga, membuat mobil konvensional yang dirakit secara lokal menderita hingga pada akhirnya, terjadi pengurangan produksi sampai penutupan pabrik.
Baca juga: Alasan Singkat Industri Mobil Listrik China Kuat
Dilansir Asia Nikkei pada Senin (29/7/2024), konsekuensi yang tidak diinginkan juga telah menyebar ke rantai pasokan, di mana setidaknya selusin produsen suku cadang telah tutup karena sebagian besar produsen kendaraan listrik China yang mendapatkan subsidi, tidak membeli komponen lokal.
Menurut Departemen Cukai Thailand, terdapat 185,029 unit kendaraan listrik telah diimpor sejak pemerintah Thailand memperkenalkan skema subsidi kendaraan listrik pada tahun 2022 melalui Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China.
Kebijakan tersebut bertujuan membuat mobil listrik lebih terjangkau, yang mana Thailand menawarkan insentif sebesar 150.000 bath per-kendaraan.
Perjanjian ini juga menghapuskan tarif atas kendaraan listrik impor asal China yang akan dijual di Thailand, dengan syarat mereka harus memproduksi secara lokal di kemudian hari dengan jumlah yang sama dengan yang mereka impor ke negara tersebut sejak tahun 2022. Aktivitas manufaktur harus dimulai tahun ini.
Baca juga: GIIAS 2024, Muara Tiga Poros Otomotif Asia Timur
Namun, data dari Departemen Transportasi Darat menunjukkan bahwa registrasi kendaraan listrik baru mencapai 86,043 unit, menunjukkan bahwa setidaknya 90,000 unit kendaraan listrik masih kelebihan pasokan
“Kami mengalami kelebihan pasokan kendaraan listrik karena banyak kendaraan listrik yang diimpor dari Tiongkok selama dua tahun terakhir (masih berada di persediaan diler),” kata Presiden EVAT Krisda Utamote.
Subsidi tersebut kini berdampak buruk pada sektor otomotif lainnya, yang mempekerjakan lebih dari 750.000 pekerja dan menyumbang sekitar 11 persen produk domestik bruto (PDB) Thailand.
Di mana, penjualan kendaraan berbahan bakar fosil mulai turun setelah subsidi kendaraan listrik mulai menurunkan harga. Produsen mobil Jepang paling terkena dampak karena mereka memproduksi sekitar 90 persen kendaraan di negara tersebut.
Lemahnya perekonomian Thailand secara luas juga berperan karena menyebabkan konsumen mengurangi pembelian untuk kebutuhan tersier seperti mobil.
Baca juga: 85 Persen Jalan Tak Sesuai Regulasi
Federasi Industri Thailand mengatakan 260,365 unit kendaraan terjual dalam lima bulan pertama tahun ini, turun 23 persen dari periode yang sama tahun 2023 dan merupakan jumlah terendah dalam satu dekade.
Akibatnya, produsen kendaraan yang masih menggunakan bahan bakar fosil mengurangi kapasitas produksi dalam upaya untuk bertahan hidup.
Honda, produsen mobil terbesar kedua di Jepang, awal bulan ini mengatakan akan menghentikan produksi kendaraan di pabriknya di provinsi Ayutthaya pada tahun 2025 dan mengkonsolidasikan operasi di pabriknya di provinsi Prachinburi.
Langkah ini merupakan bagian dari rencana pengurangan produksi tahunan di Thailand menjadi 120.000 unit per tahun, turun dari 270.000 unit.
Langkah serupa dilakukan Subaru yang mengumumkan akan menghentikan operasi perakitan mobil di Thailand pada akhir tahun ini. Suzuki pun demikian, padahal dalam beberapa tahun lalu sempat menjadi salah satu kontributor lima terbesar pada penjualan otomotif di sana.
“Tidak sampai di sana, pesanan suku cadang telah turun sebesar 40 persen sepanjang tahun ini seiring pengurangan produksi mobil oleh pabrikan,” kata Presiden Asosiasi Produsen Suku Cadang Mobil Thailand, Sompol Tanadumrongsak.
Baca juga: Pasar EV Makin Ketat, Hyundai Minta Persaingan Sehat dan Transparan
Ia memperkirakan industri ini akan mengalami kontraksi lebih lanjut saat mereka melewati “transisi” ke kendaraan listrik, dan menambahkan bahwa hanya sekitar selusin dari 660 pembuat suku cadang di Thailand yang dapat memasok pembuat kendaraan listrik asal China.
Sebab, mereka lebih memilih untuk impor karena lebih murah (dapat subsidi dari negara asal).
“Sebagian besar pembuat suku cadang lokal mengurangi operasi mereka menjadi hanya tiga hari dalam seminggu karena permintaan menurun. Sekitar selusin produsen suku cadang sekarang terpaksa gulung tikar,” kata Sompol.
Sayangnya, pemerintah Thailand tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan arah kebijakan meskipun ada tekanan terhadap produsen mobil tradisional dan pemasok suku cadangnya.
“Kami senang ada lebih banyak produsen kendaraan listrik China yang berinvestasi di Thailand karena hal ini mencerminkan keyakinan mereka terhadap kebijakan kami untuk mendukung kendaraan listrik,” kata Narit Therdsteerasukdi, sekretaris jenderal Dewan Investasi Thailand dalam kesempatan berbeda.
“Namun, akan sangat bagus jika Anda dapat memberikan dukungan kepada produsen suku cadang kami dengan menggunakan beberapa suku cadang mobil yang diproduksi oleh perusahaan Thailand," tutupnya.
Kondisi tersebut cukup krusial bagi Indonesia yang sedang membuka besar-besaran masuknya produsen mobil listrik asal China dengan memanfaatkan pembebasan impor.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.