Sebab kendaraan tentu dilengkapi dengan electric vehicle source equipment (EVSE) yang dapat dipasang di rumah dan kompatibel untuk mobil tersebut.
Namun bagaimana bila perjalanan yang ditempuh lebih jauh dari kemampuan baterai menyimpan energi? Ini memberikan hambatan psikologis tambahan bagi pengguna maupun calon pengguna BEV produksi negeri tirai bambu tersebut.
Para produsen tentu saja bukan tidak paham terhadap hal ini. Mereka menyediakan konverter yang memungkinkan konektor GB/T dapat terhubung dengan Mennekes atau CCS2.
Namun apakah ini solusi? Diam-diam ini memberikan hambatan baru, yaitu biaya, kehandalan, dan kompatibilitas.
Konverter ini tentu berimplikasi pada biaya tambahan yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan bila standar GB/T diakomodasi pada SPKLU.
Kehandalan merupakan masalah laten karena alat tambahan yang tidak permanen cenderung akan menimbulkan masalah kemudian hari.
Sedangkan kompatibilitas muncul akibat tidak semua SPKLU menerapkan protokol yang lengkap. Realisasi CCS2, misalnya, tidak semuanya mengadopsi lengkap DIN SPEC 70121 dan ISO/IEC 15118-series.
Sehingga kendaraan yang dapat diisi di SPKLU mungkin saja gagal di SPKLU lain.
Kompleksitas perangkat lunak ini semakin tinggi dengan fakta bahwa menerjemahkan aliran data dari satu protokol ke protokol lain tidak selalu berjalan mulus. Ditambah dengan kenyataan bahwa CCS2 menggunakan lapisan fisik power line carrier (PLC) yang berbeda dengan GB/T yang memanfaatkan CAN seperti halnya CHAdeMO.
Dalam hal mempromosikan kendaraan listrik berbasis baterai, perluasan terhadap akomodasi dan adopsi standar pengisian ulang kendaraan listrik perlu dilakukan. Tentu saja ini perlu dipahami secara logis dan faktual.
Mengutip data dari laman statista.com bahwa jumlah EVSE publik yang terdapat di China lebih besar dari jumlah stasiun pengisian di Korea Selatan, Amerika, Belanda, Perancis, Jerman, Inggris, Italia, Jepang, Norwegia, Kanada, Swedia, dan Spanyol. Ini membuat GB/T menjadi standar pengisian ulang terbanyak yang dipakai di dunia.
Ditambah dengan fakta bahwa produsen kendaraan listrik terbesar di dunia adalah China, membuat komponen GB/T paling banyak tersedia dan tentu saja yang paling terjangkau.
Mengonversikan ini menjadi standar lain yang lebih sulit ditemukan dan berpotensi lebih mahal tentu kontra produktif terhadap cita-cita mengubah pola transportasi menjadi ramah lingkungan.
Adopsi yang merupakan langkah logis ini sudah dilakukan jauh hari oleh setidaknya Jepang dan India. CHAdeMO (Jepang) sejak 2021 telah meluncurkan CHAdeMO 3.0 yang kompatibel dengan GB/T.
India mengadopsi GB/T pada standar Bharat DC-001. Cara adopsi India ini menarik karena sedikit mengubah rentang tegangan minimum GB/T menjadi 48 V dari semula 750 V.