JAKARTA, KOMPAS.com - Walau sudah diizinkan beroperasi kembali, pengusaha bus antarkota antarprovinsi (AKAP) harus kembali menghadapi masalah. Pasalnya, terjadi perbedaan persepsi di lapangan soal persyaratan yang telah ditetapkan.
Persyaratan yang dimaksud adalah soal keterangan negatif Covid-19. Ada yang berpendapat hal tersebut bisa digantikan dengan keterangan sehat dari rumah sakit, puskesmas, atau klinik, ada pula petugas yang meminta dilampirkan keterangan hasil lab soal bebas Covid-19.
Dampak dari perbedaan tersebut membuat pengusaha harus menanggung rugi. Sebab, setelah diizinkan jalan dari Terminal Terpadu Pulo Gebang, tetapi saat tiba di pos penyekatan, petugas di lapangan justru menganggap dokumentasi penumpang tidak sesuai aturan.
Baca juga: Kembali Beroperasi, Bus AKAP Justru Bisa Rugi
"Ini kejadian kemarin, satu bus kami tidak boleh menyeberang di pelabuhan karena dianggap surat kesehatan yang dibawa penumpang tidak sesuai. Padahal, dalam aturan yang terbitkan, ada kata 'atau', jadi selain hasil lab negatif Covid-19, bisa juga berlaku keterangan sehat dari klinik, puskesmas, atau rumah sakit," ucap Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (13/5/2020).
"Akhirnya kami harus balik dengan mengganti rugi penumpang. Ini bukti ketidakjelasan dari masing-masing instansi soal regulasi. Kalau memang tidak sesuai, harusnya kami tidak bisa jalan dari terminal. Tapi, ini sudah jalan jauh malah di penyekatan terjadi hal ketidaksepahaman antarpetugas, bagaimana ini," kata dia.
Pria yang akrab disapa Sani ini menjelaskan, bila aturan mainnya tidak jelas, lebih baik semua moda transportasi harus benar-benar tidak diperbolehkan sama sekali seperti awal, termasuk kereta api, laut, dan pesawat.
Sani mengatakan, untuk melakukan rapid test, penumpang tentu harus mengeluarkan uang, sedangkan harga tiket bus juga sudah naik lebih dari 100 persen.
Artinya, bila aturan ini benar-benar dibebankan tanpa kompensasi dari pemeritah maka sama saja tidak akan berjalan.
"Penumpang bus ini kan menegah ke bawah, harga tiket sekarang sudah naik, rapid test sendiri harganya berkisar Rp 400.000-Rp 500.000. Kalau dibebankan tanpa ada subsidi dari pemerintah, setidaknya penumpang harus bayar Rp 1 juta untuk naik bus. Apa tidak kabur tuh penumpang," kata Sani.
Baca juga: Catat, Begini Teknis dan Kriteria Izin Berpergian Saat Larangan Mudik
Anthony Steven Hambali, pemilik PO Sumber Alam, sebelumnya juga mengatakan hal yang sama. Menurut dia, tidak ada penyelarasan dalam aturan antara petugas di terminal dan di lapangan akan membuat pengusaha bus merugi.
Bila penumpang yang mendesak harus menyertakan hasil uji lab negatif Covid-19, pastinya akan sulit karena biaya rapid test cukup mahal. Saat diakumulasikan dengan harga tiket bus AKAP yang juga sudah melambung tinggi, logisnya masyarakat akan sungkan.
"Logika dibandingkan harus menggunakan bus AKAP dengan keluar ongkos lebih banyak, lebih baik masyarakat pergi dengan menggunakan moda transportasi pribadi atau mobil pribadi. Untuk kami dengan mambawa penumpang yang satu atau dua saja itu sebenarnya rugi karena tidak nutup operasional," ucap Anthony.
"Posisinya sekarang ini seperti kami diimpit dengan masyarakat, kalau misalkan dari terminal diizinkan lalu di penyekatan tidak boleh, kasihan kan, masa harus putar balik lagi. Kalau dibuat seperti ini, lebih baik tidak beroperasi sekalian," kata dia
Baca juga: Telat Bayar Pajak Kendaraan, Data STNK Bisa Diblokir
Mengutip dari Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Memang dijelaskan selain menunjukkan hasil negatif, ada kata atau sebagai penggantinya yang merujuk pada keterangan sehat dari dinas kesehatan, rumah sakit, atau puskesmas.
1. Kriteria Pengecualian