JAKARTA, KOMPAS.com – Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono, meminta masyarakat tidak resah dengan adanya rencana penerapan electronic road pricing (ERP) alias jalan berbayar pada 2020 di Kalimalang, Daan Mogot, dan Margonda.
Menurut Bambang, sebelum implementasi penuh dijalankan, nantinya akan diawali dengan kegiatan sosialisasi dan uji coba terlebih dahulu, sehingga tidak serta merta langsung diterapkan.
Bahkan ditegaskan adanya jalan berbayar atau ERP, justru dilakukan untuk kepentingan masyarakat dengan prinsip berkeadilan, karena menyasar bagi pengguna kendaraan, bukan angkutan umum dikenakan biaya bila melewati koridor ERP.
Baca juga: Catat, Ini 4 Ruas Jalan yang Akan Terapkan Sistem ERP
“Jadi ERP bukan berarti kendaraan yang lewat harus membayar, namun kendaraan yang menyebabkan kemacetan pada ruas jalan tertentu akan dikenakan biaya atau yang kita sebut dengan congestion charge,” kata Bambang dalam keterangan resminya, Kamis (21/11/2019).
Sementara untuk besaran biaya yang bakal dikenakan, diklaim tergantung dari tingkat kemacetan yang terjadi dengan ketentuan semakin macet maka akan semakin besar biaya yang dikenakan.
Hal ini yang dimaksud dengan prinsip berkeadilan, karena masyarakat bisa memilih menggunakan kendaraan pribadi tapi kena ERP atau beralih menggunakan angkutan umum.
Pengenaan biaya dari kebijakan jalan berbayar pun diklaim akan dijadikan pendapatan Negara, bukan pajak yang sepenuhnya digunakan untuk peningkatan penyelenggaraan transportasi umum di wilayah tersebut.
Ketika kebijakan ERP dimulai, masyarakat juga tak perlu khawatir adanya ganguan mobilitas, karena dipastikan bakal dilengkapi dengan kebijakan pendukung lain. Seperti pembenahan angkutan umum setempat baik menyangkut jumlah maupun terkait soal pelayanan.
Baca juga: BPTJ Terus Kaji Penerapan ERP di 3 Ruas Jalan Ini
“Kemacetan di Jabodetabek sudah menimbulkan banyak kerugian dan menurunkan kualitas hidup manusia dan lingkungan, karena itu pemecahan masalah kemacetan butuh partisipasi semua pihak,” kata Bambang.
Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di 2017, kerugian akan kemacetan di Jakarta sudah mencapai 65,7 triliun per tahun. Angka tersebut akan berkembang lebih besat untuk lingkup Jabodetabek, belum lagi ditambah dengan tingkat polusi udara karena kemacetan yang dianggap membahayakan kesehatan.
Terkait masalah penerapan tarif ERP, sebelumnya Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia (UI) Ellen Tangkudung, menyarankan agar mengikuti dari skala pendapatan ekonomi masyarakat.
Artinya, tarif tidak bisa berpatokan dari penerapan ERP di negara-negara yang sudah puluhan tahun menggunakan sistem jalan berbayar.
“Untuk tarif ini kan masalah sensitif, jadi baiknya jangan dibandingkan dengan negara lain. Karena dari segi daya beli antara masyarakat kita dengan luar, contoh Singapura, itu kan beda sekali. Paling tidak dicari yang ideal lah, tapi memang dari skala kondisi, ERP ini dibutuhkan untuk solusi meredam kemacetan,” kata Ellen kepada Kompas.com, beberapa hari lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.