Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiga Skema Pengembangan Kendaraan Listrik Indonesia

Kompas.com - 24/08/2017, 08:22 WIB
Ghulam Muhammad Nayazri

Penulis

Jakarta, KompasOtomotif – Pengembangan industri otomotif dalam negeri masuk babak baru, di mana bakal dicetuskannya Peraturan Presiden tentang Program Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Untuk Transportasi Jalan. Perpres ini disebut pihak Kementerian Perindustrian menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM sebagai inisiator.

Namun, dari Draft I yang sudah mulai disosialisasikan, kontennya masih dianggap berbau “asing”, dan belum mendukung dan berpihak pada kemampuan anak bangsa, yang sudah mampu mengembangkan teknologi ini –jika disahkan.

Berdasarkan isi dari Perpres ini, Muhammad Nur Yuniarto, Peneliti Kendaraan Listrik Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), yang juga kepala proyek calon sepeda motor listrik nasional Gesits, coba memberikan gambaran skema pengembangan dan komersialisasi industri dalam negeri. Entah mana yang akan dipilih pemerintah.

Baca juga : Soal Kendaraan Listrik, Pemerintah Jokowi di Sisi Mana?

Skema A.Istimewa Skema A.

Skema A (Anak Kandung)

Demi merangsang tumbuhnya industri di dalam negeri, maka skema A ini harus dijadikan acuan untuk ditumbuhkan. Arahnya dimulai dari R&D (Litbang/Penelitian dan Pengembangan) Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan lembaga Litbang dalam negeri, lalu dikomersialisasi oleh industri lokal, baru kemudian dijual kepada konsumen.

Berbagai insentif harus diberikan kepada masing-masing elemen tersebut. Pertama kepada lembaga litbang dan PTN, seperti block grant dan affirmative policy untuk pendanaan kegiatan R&D, kemudahan mendaftarkan paten, bebas pajak untuk pembelian bahan baku dan peralatan impor untuk kegiatan R&D kendaraan listrik.

Terakhir, reformulasi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) kendaraan listrik dengan memasukkan komponen R&D ke dalam penghitungannya.

Kemudian pemberian insentif kepada industri yang menggunakan hasil R&D dalam negeri, yaitu bebas pajak pembelian peralatan produksi, Tax Holiday untuk produk yang dihasilkan sampai volume produksi tertentu. Suku bunga pinjaman modal yang rendah, 1 persen misalnya), untuk investasi pabrik kendaraan listrik yang TKDN-nya di atas 70 persen.

Terakhir adalah memberikan subsidi kepada masyarakat, demi merangsang mereka untuk beralih. Mulai dari bebas Pajak Kendaraan Bermotor selama 5 tahun pertama, kemudian insentif pemotongan harga beli kendaraan listrik hasil Litbang nasional.

Baca juga : Draft Perpres Kendaraan Listrik Belum Nasionalis!

Skema B.Istimewa Skema B.

Skema B (Anak Saudara)

Skema B ini disebut Nur, beregerak ke arah Industri yang memanfaatkan hasil Litbang, atau menggunakan komponen dari luar negeri (asing). Ini digunakan untuk menumbuhkan industri assembly di Indonesia dengan menggunakan seluruh atau sebagian komponen kendaraan listrik impor.

Menurutnya ini tidak begitu ideal, karena sedikit sekali memberikan manfaat kepada bangsa Indonesia, dibandingkan dengan skema A. Jadi dipilih, perlakuan insentif yang diberikan juga berbeda, supaya skema A menjadi pilihan utama.

“Bagi pelaku industri di Indonesia, lembaga Litbang dari luar negeri tidak perlu mendapatkan insentif apapun,” ujar pria yang akrab disapa Nur, Selasa (22/8/2017).

Sementara untuk industri assembly, akan mendapatkan insentif berupa bebas pajak pembelian peralatan produksi. Kemudian suku bunga pinjaman modal yang rendah (1 persen) untuk investasi assembly kendaraan listrik, dengan catatan unsur tingkat kandungan dalam negerinya (TKDN) di atas 70 persen.

Lalu untuk masyarakat yaitu hanya pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor selama 3 tahun pertama.

Skema C.Istimewa Skema C.

Skema C (Anak Orang Lain)

Skema Industri ini hanya menjual kendaraan listrik utuh (CBU/Completely Built Up) dari luar negeri. Ini merupakan skema "putus asa", yang sebenarnya tidak layak untuk diambil, karena bertentangan dengan semangat menumbuhkan industri dalam negeri.

Dari skema ini yang tumbuh adalah industri penjualan, dan hanya akan menjadikan Indonesia sebagai pasar kendaraan listrik, tanpa diimbangi dengan kemampuan apapun, baik kemampuan manufaktur maupun kemampuan Litbang.

Jadi tidak perlu ada insentif apapun bagi industri yang memilih Skema C ini, karena ini akan langsung menghantam dan membunuh proses berkembangan industri nasional, yang berdasarkan Litbang.

Sementara untuk mengapresiasi semangat penggunaan kendaraan listrik, maka pengguna atau masyarakat hanya perlu diberi kebebasan Pajak Kendaraan Bermotor selama 2 tahun pertama. Melalui skema ini, negara tidak akan kehilangan sumber pendapatan pajak yang besar akibat insentif yang diberikan.

Tinggal Pilih

“Berbeda dengan skema A, di mana dana insentif dari negara akan kembali ke negara, karena masih beredar di dalam negeri, bahkan jika industri nasional tumbuh maka Indonesia yang akan mendapatkan keuntungan besar. Skema B juga masih akan mendatangkan keuntungan, karena banyaknya tenaga kerja yang akan dilibatkan pada industri manufakturnya,” ucap Nur.

“Pengkategorian tersebut seperti pengelompokan status anak dalam perkawinan. Skema A bisa dikatakan sebagai anak kandung, skema B adalah anak saudara, sementara skema C adalah anak orang lain. Silahkan pemerintah memilih anak mana yang ingin dibesarkan dan diberi makan,” tutur Nur.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com