"Dulu itu ajakannya, buat apa kerja sama orang lain. Kalau mau kaya ya usaha sendiri. Ekonomi lagi bagus begini, mau usaha apa saja pasti maju. Ajakan ini membuat diri saya tertantang, apalagi sudah merasa banyak pengalaman bekerja sebagai profesional di perusahaan," ucap Patrick.
Setelah tiga tahun bekerja di GE, Patrick memutuskan untuk mengundurkan diri dan memulai usahanya sendiri. Mulai mendirikan perusahaan konsultasi finansial dan berbagai proyek serabutan lainnya. Dalam perjalanannya, Patrick juga coba mempelajari kesuksesan produk sepatu Nike asal Amerika Serikat (AS) yang berhasil mendunia, padahal tanpa pabrik.
Alumnus fakultas Teknik Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan ini mulai mempelajari ilmu Branding. Mencari tahu bagaimana Nike bisa dikenal orang di seluruh dunia, bahkan sampai mempekerjakan ribuan orang. Lewat ketertarikan ini, ia mulai belajar berbagai hal lain, mulai dari istilah outsource dan lain sebagainya.
Selain tetap menjalankan aktivitasnya sebagai konsultan, Patrick juga berniat membuat usaha baru di bidang garmen, menciptakan merek mengarah pada kebutuhan sandang anak-anak. "Dulu anak saya masih kecil, mitra saya juga baru punya anak. Dulu kalau mencari baju anak itu sulit sekali, adanya yang murah, beli kodian di Mangga Dua atau mahal sekalian, produk impor. Belum ada yang membidik segmen menengah," ingat Patrick.
Pengalaman pahit
Lewat semangat yang sama, akhirnya Patrick dan mitra mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang apparel dan furniture, dengan merek dagang "Anak". Awal bisnis berjalan, penerimaan di pasar sangat baik. Sekaligus menggelitik idiom soal perusahaan lokal, di mana kalau dikelola dengan baik dan ada pasar, maka bisa berhasil.
"Dulu cita-citanya sudah ke regional, karena Anak itu artinya sama di Filipina di Malaysia, Brunei, Singapura. Jadi kita mengarah ke sana. Lagi semangat-semangatnya, eh krismon (krisis moneter) di mulai 1997, 1998 kerusuhan pecah," kenang Patrick.
Melihat kondisi pasar domestik yang lagi keruh, sempat tercetus untuk mengalihkan pasar ke ekspor. Tapi, kenyataan berkata lain. Patrick baru mengetahui kalau bahan baku setengah jadi, seperti benang, katun, kancing, bahkan sampai pewarna tekstil yang digunakan di pabrik garmen masih impor. Kondisi ekonomi dunia yang tidak mementu membuat perusahaan pemasok minta naik harga karena rupiah melemah terhadap dollar AS.
Alhasil, harga kaos yang tadinya Rp 50.000 per potong, terkerek naik jadi Rp 100.000. Di sisi lain daya beli masyarakat lagi lesu karena krismon. "Kondisinya sudah amburadul lah, akhirnya 1999, saya dan mitra memutuskan untuk tidak melanjutkan usaha, tapi tidak kabur. Melainkan menutup usaha dengan jalan yang benar. Istilahnya, dulu buat perusahaan itu dua minggu jadi, menutupnya butuh waktu setahun," kelakar Patrick.
Kondisi ini membuat Patrick mengalami titik terendah dalam perjalanan kariernya. Meski demikian, pria berdarah Jawa ini mengaku tetap menjalin hubungan baik dengan mitranya sampai sekarang, meski sudah tidak bisa bekerja sama lagi. "Dulu itu lumayan lah, seluruh tabungan saya habis karena kondisi itu. Akhirnya, tahun 2000 saya berfikir ulang, sambil liburan di AS, menenangkan pikiran," ucap Patrick.
Akhirnya, setelah kembali di Indonesia, Patrick mencari pekerjaan lagi. Berlatar belakang dunia Teknologi Informasi, membuatnya sempat menjabat sebagai direksi di beberapa perusahaan, seperti Lucent Technologies Asia/Pasific Incorporated, periode 2000-2003. Kemudian pindah ke Motorola Networks Asia periode 2003-2007.
Private equity
Pada 2007, Patrick kemudian di ajak salah satu mitranya untuk bergabung dalam perusahaan pengelola investasi (private equity/PE) di bidang telekomunikasi dan infrastruktur. PE bisa dikenal juga sebagai "Broker Legal", atau perusahaan pengelola investasi yang mendapat sponsor atau sokongan dana dari berbagai pihak, baik individu maupun institusi.