Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Success Story Dyonisius Beti, Executive Vice President YIMM

Melawan Takdir sebagai Anak Pedagang

Kompas.com - 30/03/2015, 16:00 WIB
Donny Apriliananda

Penulis

Kehidupan ini sangat indah. Tak semua perjalanan hidup manusia berjalan dengan mulus. Tentu banyak rintangan dan hambatan dalam meraihnya. Kuncinya adalah kesabaran, keteguhan hati, memiliki prinsip yang kuat, jujur, apa adanya, dan selalu melakukan inovasi. Di balik kesuksesan seseorang, ada kisah-kisah mengharukan dan menyedihkan. Semua itu adalah proses yang harus dilalui. Kompas.com menurunkan serial artikel "Success Story" tentang perjalanan tokoh yang inspiratif. Semoga pembaca bisa memetik makna di balik kisah.

Jakarta, KompasOtomotif – PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) tak hanya sukses di dalam negeri dengan jutaan penggemar fanatik sepeda motornya, tetapi juga menjadi basis produksi salah satu model global. R15, R25, dan R3 jadi model yang diekspor ke berbagai region di belahan bumi.

Perjalanan besar itu tak lepas dari sumbangsih ide dan pemikiran brilian pemimpinya. Salah satu kunci dan nakhoda yang membawa hingga seperti saat ini adalah Dyonisius Beti, Executive Vice President YIMM. Dialah sosok setia yang mendampingi Yamaha saat terpuruk, dan membawa kembali sukses sampai sekarang.

Di tengah kesibukannya memimpin rapat dan menghadirkan ide segar untuk kemajuan perusahaan, Dyon, begitu dia akrab disapa, meluangkan waktu menemui KompasOtomotif beberapa waktu lalu untuk sekadar beramah tamah dan berbagi cerita.

Dari pertemuan singkat itu, tak bisa disembunyikan bahwa kesan yang muncul tentang Dyon adalah sosok yang tegas, lugas, cekatan, dan tentu saja cerdas. ”Ya beginilah, saya terbiasa sibuk sejak kecil, karena lahir di tengah keluarga pekerja keras yang harus selalu cekatan mengerjakan sesuatu,” buka Dyon mengawali perbincangan siang itu.

Pedagang

Dirinya lantas kembali mengenang bagaimana kerasnya kehidupan di tengah keluarga pedagang yang harus berjuang dari bawah, hingga cukup sukses di zamannya.

”Saya lahir di Jambi, 13 Oktober 1962, dari keluarga sederhana. Papa saya pedagang karet yang memanfaatkan kapal tongkang untuk distribusi. Memanfaatkan Sungai Batanghari, dari Jambi kapal diisi beras, gula, dan kebutuhan pokok lainnya ke hulu. Di sana, barang dijual, lalu ngangkut karet ke Jambi. Pedagang kecil lah. Bisa hidup, tapi tidak berlebihan,” cerita Dyon.

Sebagai penduduk keturunan China di Jambi, Dyon mengatakan bahwa nenek moyangnya semua berprofesi sebagai pedagang. Itulah sebabnya, dirinya ”tak diwajibkan” sekolah hingga jauh dari Jambi, karena orang tuanya berkeyakinan, semua keluarganya nanti akan meneruskan profesi sebagai pedagang juga.

KompasOtomotif-donny apriliananda Dyonisius Beti mengalami liku hidup yang cukup sulit di awal perantauan ke Pulau Jawa.

Bung Karno

Namun, Dyon berupaya mematahkan keyakinan orang tua, dan ingin ”melawan takdir” sebagai anak pedagang. Menjadi juara di sekolah mulai SD hingga SMA, membuat pemikirannya semakin luas dengan cita-cita sangat sederhana yang memotivasi. ”Saya ingin seperti Bung Karno. Beliau saat itu saya anggap sebagai orang yang paling hebat,” kenang Dyon.

Perjalanan hidup Bung Karno benar-benar ingin ditiru dan menginspirasi Dyon. Paling sederhana, menjadi mahasiswa Teknik Sipil ITB. ”Papa melarang saya ke ITB. Namun, mama merayu agar saya bisa berangkat ke Bandung untuk tes," ujar Dyon

Ternyata, diam-diam sang ibu mengumpulkan sebagian uang belanja untuk membiayai Dyon berangkat tes ke Bandung. "Pesannya saat itu, kalau enggak lulus, ya pulang untuk berdagang. Tapi kalau berhasil, saya diperbolehkan lanjut sekolah,” kenang Dyon.

Ajaibnya, Dyon diterima di ITB sebagai mahasiswa Teknik Sipil pada 1981. Alhasil, dirinya melanjutkan jenjang pendidikan dengan merantau ke Pulau Jawa yang belum pernah disinggahinya. Di sinilah titik balik kehidupan Dyon hingga akhirnya menjadi sukses di Jakarta.

”Begitu saya diterima, akhirnya papa saya mendukung, karena ITB juga menjadi salah satu perguruan tinggi yang punya nama besar. Apalagi, saat itu uang sekolahnya cuma Rp 12.000 per semester. Bandingkan dengan swasta seperti Trisakti yang saat itu sudah jutaan rupiah untuk membayar biaya kuliah,” beber Dyon.

Bagaimana lanjutan kisah Dyon di-bully di kampus sampai memulai kerja di Jakarta? Ikuti kelanjutannya. Bersambung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau