Kehidupan ini sangat indah. Tak semua perjalanan hidup manusia berjalan dengan mulus. Tentu banyak rintangan dan hambatan dalam meraihnya. Kuncinya adalah kesabaran, keteguhan hati, memiliki prinsip yang kuat, jujur, apa adanya, dan selalu melakukan inovasi. Di balik kesuksesan seseorang, ada kisah-kisah mengharukan dan menyedihkan. Semua itu adalah proses yang harus dilalui. Mulai hari ini, Kompas.com menurunkan serial artikel "Success Story" tentang perjalanan tokoh yang inspiratif. Semoga pembaca bisa memetik makna di balik kisah.
Adalah Bagus Susanto, Managing Director PT Ford Motor Indonesia (FMI). Di usia 40 tahun, pria kelahiran Banyuwangi, 23 November 1974 itu memegang tampuk pimpinan tertinggi Ford Motor Indonesia. Ia juga orang Indonesia pertama yang memegang jabatan puncak FMI.
"Life begins at forty”. Pepatah tersebut mungkin pas sekali buat Bagus. Masa depan bisnis produsen mobil asal Amerika Serikat di Indonesia berada di tangannya. Posisi Bagus sebagai pimpinan tertinggi di Indonesia menjadi tantangan terbesar baginya.
Tidak mudah bagi seorang Bagus untuk meraih posisi tersebut. Butuh perjuangan dari bawah untuk mencapai posisi puncak.
Berani bayar
Kesuksesan tidak datang dengan instan. Ada ”harga” yang harus dibayar untuk mendapatkannya. Ibarat pepatah Jawa “jer basuki mawa beya”, untuk mencapai keberhasilan itu butuh biaya. Bukan biaya dalam bentuk materi uang, tapi pengorbanan waktu, tenaga, usaha, dan kerja keras.
“Kalau orang mau sukses, jalan pasti ada. Perbedaannya tipis, ada orang yang berani ‘bayar’ ada yang tidak berani ‘bayar’, wis itu thok (sudah itu saja)!” ujar Bagus saat ditanya apa kunci suksesnya kepada Kompas.com.
Keberanian untuk menebus kesuksesan itu sudah tertancap di kepala Bagus sejak masa kanak-kanak. Ia mengakui, keputusan yang diambilnya sejak duduk di bangku sekolah adalah pijakan untuk keberhasilannya saat ini.
“Semua anak ditanya pasti mau pintar. Tapi berapa anak yang jadi pintar? Apa bayarannya? Jangan nonton TV terus, jangan main terus, jangan ngobrol kalau guru lagi menerangkan,” terang Bagus.
Bagus menampik anggapan bahwa fasilitas pendidikan yang berteknologi tinggi, nyaman, dan lengkap adalah kunci kemajuan.
“Orang pinter bukan karena AC (air conditioner). Ini serius saya bicara seperti ini. Bukan itu, yang penting itu tekadnya,” kata dia.
Belajar di pinggir jalan
Ia bercerita salah satu kisahnya menjelang ujian Ebtanas saat duduk di kelas 3 SMPN Negeri 3 Surabaya, Jalan Praban. Pada malam menjelang ujian, tiba-tiba listrik di rumahnya mati. Tapi, ia tak lantas menyerah dan hilang akal.
“Buku saya bawa ke pinggir jalan, belajar di pinggir jalan. Kan ada lampu jalan. Yang dibutuhkan kan lampu untuk baca saja kan? Ditanyain, ‘Ngapain, di sini?’ Tetapi saya baca saja,” ungkap Bagus.
Sebagai anak dari keluarga pedagang yang hidupnya pas-pasan, Bagus pun tahu diri. Ia tak menuntut banyak dari orangtuanya soal dukungan untuk pendidikannya. Tapi, memang banyak akal, Bagus tak menyia-nyiakan kesempatan berteman dengan kawan-kawan yang nasibnya lebih baik.