JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menolak gugatan permohonan pengujian kembali terkait penggunaan fitur Global Positioning System (GPS) pada telepon seluler saat berkendara maupun mengemudi kendaraan bermotor.
Gugatan ini dilayangkan Toyota Soluna Community, diwakili oleh Ketua Umum Sanjaya Adi Putra, yang melihat bahwa penggunaan GPS saat ini telah dibutuhkan dalam berbagai kegiatan berkendara termasuk untuk kebutuhan transportasi online.
Para pemohon meminta peninjauan ulang Pasal 106 Ayat 1 dan Pasal 283 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Pasal tersebut berbunyi, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.
Frasa penuh konsentrasi diperluas menjadi menggunakan telepon seluler dan diperluas terhadap penggunaan fitur GPS.
Dihubungi pada Rabu (30/1/2019), Adi mengungkapkan, pihaknya menghargai apa yang sudah diputuskan MK sebab telah melalui dengar pendapat berbagai ahli. Namun, dirinya merasa dilema dengan keputusan tersebut.
“Kami hargai hasil keputusan MK. Tapi keputusan ini menyisakan dilema sebab saat ini GPS sudah menjadi hal penting dan kebutuhan. Terlebih untuk yang mencari nafkah melalui ojek online,” ucap Adi.
Adi mengungkapkan, pihaknya mengajukan uji materi karena melihat perkembangan zaman. Terutama pada frasa “mengganggu konsentrasi” yang bisa ditafsirkan beragam.
“Tidak mengganggu konsentrasi itu parameternya apa. Berbeda dengan texting while driving, itu jelas berbahaya dan tidak dianjurkan. Tapi kalau GPS sebagai petunjuk sebenarnya malah bisa menambah konsentrasi di jalan,” ucap Adi.
Pihak pabrikan kendaraan bermotor bahkan sudah menanamkan fitur navigasi pada head unit bawaan mereka. Saat ini bahkan ada fitur mirrorlink untuk menyamakan tampilan layar monitor head unit dengan tampilan telepon genggam pengemudi.
“Saat ini bahkan sudah ada GPS dengan suara. Prosesnya memang harus memasukkan tujuan saat kendaraan berhenti, lalu jalan. Tapi ini kan bukan serta merta tidak diperbolehkan. Perlu lihat kasus per kasus dan tergantung penindak di lapangan. Masalahnya apakah ada ukurannya bahwa orang yang seperti apa yang mengganggu konsentrasi? Bicara dengan penumpang saja sudah terhitung mengganggu sebenarnya,” ucap Adi.
Pihak komunitas mengajukan peninjauan ulang karena melihat pemberitaan di media online nasional yang mengungkapkan pihak kepolisian akan menilang pengemudi ojek online yang menggunakan GPS saat berkendara pada Maret 2018 lalu.
Diketahui, Majelis Hakim MK yang diketuai Anwar Usman menilai permohonan tidak beralasan secara hukum sehingga MK menolak gugatan tersebut. MK beralasan dalam UU LLAJ telah dijelaskan peraturan mengemudi secara wajar meski disadari bahwa materi muatannya masih sederhana dan belum mampu menjangkau seluruh aspek perilaku berkendara yang tidak tertib, termasuk penggunaan GPS.
MK memahami penggunaan GPS dapat membantu pengemudi mencapai tempat tujuan. Namun, penggunaan GPS bisa merusak konsentrasi pengendara karena pengemudi melakukan dua aktivitas sekaligus. Frasa penuh konsentrasi bertujuan untuk melindungi kepentingan umum yang lebih luas akibat perilaku mengemudi yang konsentrasinya bisa terganggu.
Namun, penggunaan GPS dapat dibenarkan jika secara langsung tidak mengganggu konsentrasi. Oleh karena itu, penindakannya dikembalikan kepada petugas apabila menemukan tindakan pengendara yang tidak fokus dan mengganggu keselamatan pengguna jalan lain atau penerapannya harus dilihat secara kasuistis.
Pada Pasal 283 disebutkan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 750.000.
https://otomotif.kompas.com/read/2019/01/31/084526415/dilema-keputusan-mk-soal-larangan-penggunaan-gps-saat-berkendara