JAKARTA, KOMPAS.com - Travel gelap merupakan masalah yang masih berlangsung sampai sekarang. Mirisnya, Daihatsu Gran Max yang belum lama ini terlibat kecelakaan maut diduga salah satu travel gelap.
Kejadian ini tentu membuat sedih dan disayangkan pelaku angkutan transportasi yang resmi. Travel gelap masih saja jadi pilihan orang, padahal tidak jelas penanggungjawabnya.
Ketua Bidang Angkutan Orang DPP Organda Kurnia Lesani Adnan mengatakan, kecelakaan itu sangat menyedihkan, jadi momok buat masyarakat yang mudik menjelang Hari Raya Lebaran.
Baca juga: Gran Max yang Kecelakaan di Km 58 Diduga Travel Gelap, Ini Kata Pengusaha Bus
Sani, sapaan akrab Kurnia Lesani Adnan mengatakan, saat masa pandemi, berbagai pihak melakukan razia travel gelap. Memang saat itu mudik dilarang serta banyak orang yang bandel memaksa pulang kampung.
"Ingat 2022 kita kencang masalah ini? Polisi sweeping, mobil minibus, dicegat, tindak segala macam, sekarang ke mana?," kata Sani kepada Kompas.com, Selasa (9/4/2024).
Sani menyayangkan, travel gelap bukannya secara sering dilakukan razia, tapi sekarang malah terkesan dibiarkan. Baru ketika ada kecelakaan dengan dugaan praktek travel gelap, semua bertindak.
Baca juga: Pengemudi Harus Dalam Kondisi Prima Saat Berkendara
"Harusnya kan antisipatif. Menyelesaikan ini (travel gelap) bukan cuma tanggung jawab Kementerian dan Dinas Perhubungan. Tapi stakeholder lain juga, seperti Polri yang memegang kebijakan di jalan, Kemendagri, sampai Jasa Raharja," kata Sani.
Sani meminta Jasa Raharja lebih tegas dalam memberikan santunan. Kalau misal kendaraan yang terindikasi travel gelap tetap mendapatkan asuransi, yang ada bikin pengusaha transportasi orang yang resmi marah.
"Jadi boleh dibilang itu disantuni pakai uang siapa? Uang yang bayar resmi, yang taat. Adil enggak? Enggak adil itu," kata Sani.
Selain itu, buat para penumpang juga tidak ada enaknya mudik atau pergi naik travel gelap atau tidak resmi, yang ada penumpang dirugikan.
"Memang dipikir travel lebih murah dari bus? Yang ada lebih mahal dari yang resmi, yang rugi kan masyarakat juga," kata Sani.
Bahkan pernah ada kasus penumpang yang diminta tambahan ongkos ketika di tengah jalan, tidak jelas. Belum lagi belum ada jaminan penumpang diturunkan di tempat sesuai permintaan, bisa saja di tengah jalan.
"Lalu, apa lebih nyaman? Tidak. Misal Gran Max seharunya buat tujuh penumpang, diisi sampai 12 orang. Kalau seorang bawa satu tas pakaian, mau taruh di mana? Belum kardus. Jadi masyarakat yang dirugikan," kata Sani.
Kalau dibandingkan dengan bus, tentu jauh lebih nyaman. Penumpang sudah jelas jumlahnya, tidak akan berdesakan di kabin, bagasi juga lega, muat barang yang banyak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.