KOMPAS.com – Beberapa waktu belakangan, media dunia ramai-ramai memprediksi teknologi kendaraan seperti apa yang menjadi tren tahun 2040.
Artikel di laman theguardian.com Rabu (26/7/2017), misalnya. Di tulisan ini Mike Ramsey, ketua peneliti Gartner memprediksi, mobil masa depan akan semakin mewah dan dibekali tekonologi penunjang canggih, seperti kunci dengan sensor sidik jari, jendela layar sentuh, hingga kabin pintar dengan asisten virtual.
Sementara itu, artikel dari thesun.co.uk Jumat (28/7/2017) memprediksi, pada 2040 sebagian besar mobil dapat menyetir sendiri di sebuah jalur khusus. Selain itu, jalan raya yang biasanya diramaikan suara mesin kendaraan akan terdengar sangat tenang dan berbeda.
Akan tetapi, benarkah dua puluh tahun dari sekarang mobil-mobil seperti itu akan berseliweran di jalan raya?
Sebuah studi dari Bloomberg New Energy Finance (BNEF) mencoba memprediksi jenis kendaraan tahun 2040 mendatang. Penelitian itu mengungkapkan, pada tahun itu setengah dari total pasar otomotif dunia akan didominasi oleh kendaraan listrik.
Studi tersebut memprediksi, penjualan kendaraan listrik dalam beberapa tahun ke depan akan terus meningkat. Meski pada 2017penjualannya baru mencapai angka 1,1 juta unit, dan akan meningkat sepuluh kali lipat menjadi 11 juta unit pada 2025. Hingga akhirnya berhasil menembus angka 60 juta unit pada 2040.
Sementara itu, penggunaan kendaraan listrik untuk transportasi umum, seperti taksi, ride-hailing, car-sharing, pun akan terus berkembang. BNEF memprediksi, pada 2040 mendatang 80 persen armada transportasi umum akan menggunakan kendaraan listrik.
Di sisi lain, jumlah penjualan kendaraan diesel dan bensin setiap tahunnya diprediksi akan menurun mulai pertengahan tahun 2020.
Melansir dari Kompas.com, Sabtu (2/6/2018), untuk bisa memenuhi kebutuhan mobil listrik tersebut, para produsen mobil global diharapkan bisa menambah jumlah dan pilihan model mobil listrik.
Saat ini, baru ada 155 model kendaraan yang dijual diseluruh dunia. Diperkirakan jumlahnya akan melonjak hingga 289 model pada 2022, di mana beberapa merk otomotif akan mulai mengonversi semua model mereka ke listrik pada 2025.
BNEF mengatakan, China akan tampil sebagai pemimpin pasar kendaraan listrik dengan penjualan mencapai 50 persen dari pasar global mulai tahun 2025.
Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah China mendorong majunya pasar kendaraan listrik. Saat ini, China masih memberlakukan subsidi untuk penjualan mobil listrik, namun pada 2020 subsidi tersebut akan dihapus.
Selain itu, pada akhir 2019, pelaku industri otomotif China diharuskan mengikuti sistem kredit ‘New Energy Vehicle’. Sistem ini mengharuskan mereka membayar kredit tertentu ke perusahaan kompetitor jika penjualan mobil listriknya tidak memenuhi target.
Kenaikan jumlah mobil listrik ini pun berdampak pada banyak aspek. Penelitian yang dirilis tahun 2018 itu menjelaskan, pertumbuhan mobil listrik akan berdampak pada meningkatnya permintaan baterai litium. Seperti diketahui, baterai merupakan komponen utama dan terbesar dari kendaraan listrik.
Saat ini, kapasitas produksi baterai litium global per tahunnya mencapai 131 Gigawatt hours (GWh). Sementara itu, kebutuhan baterai litium pada 2030 diperkirakan mencapai 1.500 GWh.
Hal ini pun akan mendorong meningkatnya permintaan untuk material utama baterai, yakni kobalt, litium, dan nikel. Kebutuhan akan komponen baterai lithium-ion (elektroda, elektrolit) pun mengalami peningkatan, dari 0,7 juta metrik ton pada 2018 menjadi lebih dari 10 juta metrik ton tahun 2030.
Tak hanya industri manufaktur, meningkatnya penjualan kendaraan bertenaga listrik pun berpengaruh pada penurunan konsumsi minyak dunia untuk transportasi. BNEF memperkirakan, ketika penjualan kendaraan listrik melewati 50 persen pada 2040, sebanyak 7,3 juta barel minyak per hari akan tergantikan.
Selanjutnya, pada 2040 diprediksi kendaraan listrik dapat menggantikan 90 persen dari setiap barel bahan bakar yang dikonsumsi saat ini.
China menjadi salah satu negara dengan penurunan tingkat konsumsi bahan bakar minyak terbesar, dengan 2,5 juta barel perhari. Kemudian ada Amerika Serikat sebesar 2,3 juta barel per hari dan Eropa 1,1 juta barel per hari.
Salah satu pendorong terbesar berkembangnya pasar mobil listrik dunia adalah cita-cita untuk mengurangi dampak pemanasan global.
Untuk mencegah semakin memburuknya pemanasan global, negara-negara di dunia melakukan upaya ambisius untuk memerangi perubahan iklim dan beradaptasi dengan akibatnya lewat Paris Climate Agreement.
Melalui perjanjian tersebut, negara-negara partisipan berupaya untuk menjaga kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat celsius selama abad ini.
Berbagai langkah pun dilakukan demi mencapai tujuan tersebut. Salah satunya dengan mengurangi penggunaan kendaraan diesel dan bensin.
Merespons hal itu, beberapa negara peserta Paris Climate Agreement, seperti India, Prancis, dan Inggris, mengambil langkah besar dengan melarang penjualan mobil bermesin diesel dan bensin dalam beberapa tahun ke depan.
Salah satu negara dengan tingkat polusi paling tinggi di dunia ini serius menanggulangi pemanasan global dengan menghentikan penjualan mobil berbahan bakar minyak pada 2030 mendatang.
Melansir money.cnn.com Sabtu (3/6/2017), untuk mendukung rencana tersebut, sejak 2013 pemerintah India telah menerbitkan kebijakan National Electric Mobility Mission Plan (NEMMP).
Menteri Energi India Piyush Goyal mengatakan, lewat kebijakan itu pemerintah akan memberikan subsidi bagi industri mobil listrik selama beberapa tahun. Setelahnya, kata Piyush, subsidi akan mulai dikurangi secara bertahap.
Selain itu, pemerintah India juga menargetkan penjualan mobil listrik dan hybrid sebanyak 6-7 juta unit pada 2020. Sebagai informasi, mobil hybrid merupakan kendaraan dengan satu motor listrik dan mesin pembakaran sebagai penggerak.
Pada 2040 pemerintah Prancis ingin mengakhiri penjualan mobil diesel dan bensin untuk melawan pemanasan global.
Targetnya, setelah 2040, pabrik otomotif hanya boleh menjual kendaraan bertenaga listrik atau kendaraan tanpa gas buang lainnya, termasuk mobil hybrid.
Ke depannya, pemerintah Prancis akan mengembangkan infrastruktur penunjang, seperti infrastruktur untuk pengisian daya mobil listrik dan juga mengembangkan bahan bakar alternatif.
Agar lebih menarik bagi masyarakat, pemerintah Prancis akan menajalankan program cash-for-clunker. Program ini akan memberikan kompensasi bagi orang-orang yang menyerahkan kendaraan konvensional dan menukarnya dengan kendaraan tanpa emisi atau listrik.
Di Inggris, penerapan larangan penjualan mobil diesel dan bensin akan dimulai tahun 2040. Targetnya, pada 2050 seluruh mobil di jalanan Inggris harus bebas dari emisi.
Larangan tersebut merupakan langkah berani karena Inggris merupakan pasar mobil terbesar kedua di Eropa setelah Jerman, dan pasar mobil terbesar keenam di dunia.
Meski begitu, pemerintah Inggris tetap konsisten pada rencananya. Bahkan mereka sudah menyiapkan dana investasi sebesar 1.8 miliar dollar AS untuk mewujudkan upaya Inggris bebas emisi kendaraan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia telah menyatakan komitmen serupa untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen. Sama seperti negara-negara sebelumnya, Indonesia pun mencanangkan pelarangan penggunaan kendaraan bermesin diesel dan bensin pada 2040.
“Indonesia ditargetkan pada 2030 menjadi basis produksi internal combustion engine (ICE) vehicle dan electric vehicle untuk pasar domestik maupun ekspor. Pemerintah pun menargetkan pada 2025, 20 persen dari total kendaraan baru Indonesia sudah berteknologi listrik,” ucap Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, dilansir Kompas.com, Kamis (25/4/2019).
Untuk mendukung langkah tersebut, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019, tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan pada Senin (5/8/2019).
Dalam Perpres itu dijelaskan, Indonesia akan mengembangkan kendaraan bermotor listrik (KBL) berbasis baterai. KBL ini kemudian dikelompokkan menjadi KBL beroda dua dan roda tiga, serta KBL beroda empat atau lebih.
Perpres tersebut pun menjelaskan tentang pemberian insentif fiskal dan non fiskal untuk industri, perusahaan, hingga orang perorangan terkait KBL berbasis baterai.
Untuk insentif fiskal yang diberikan berupa, insentif bea masuk importasi komponen kendaraan listrik, penjualan barang mewah, pembiayaan ekspor, kegiatan penelitian, serta pembebasan atau pengurangan pajak pusat dan daerah.
Sementara itu, untuk pengguna kendaraan listrik akan diberikan insentif fiskal berupa tarif parkir dilokasi tertentu, keringanan biaya pengisian listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Pengendara pun mendapat pengecualian dari pembatasan penggunaan jalan tertentu.
Dijelaskan pula tentang penyediaan infrastruktur pengisian listrik hingga perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Presiden juga menyadari bahwa baterai menjadi komponen utama dalam pengembangan kendaraan listrik.
"Kami tahu 60 persen dari mobil listrik kuncinya ada di baterainya. Bahan untuk membuat baterai dan lain-lain ada di negara kita, sehingga strategi bisnis negara ini bisa kita rancang agar kita nanti bisa mendahalui membangun industri mobil listrik murah dan kompetitif," kata Jokowi, dikutip dari Kompas.com, Kamis (8/8/2019).
Dengan ditekennya Perpres tersebut, Indonesia bisa segera membangun pondasi dan infrastruktur pendukung kendaraan listrik.