JAKARTA, KOMPAS.com - Pembatasan kepemilikan kendaraan menjadi salah satu langkah yang diambil oleh beberapa negara untuk mengurangi kemacetan dan polusi. Singapura dan China adalah contoh negara yang menerapkan regulasi ketat di bidang transportasi.
Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas berpendapat bahwa, kebijakan serupa tidak relevan jika diterapkan di Indonesia, khususnya Jakarta.
Menurut dia, terdapat sejumlah faktor yang menjadi hambatan, terutama terkait ketaatan masyarakat dalam membayar pajak dan skema yang ada.
Baca juga: Aturan Pembatasan Kendaraan di Jakarta Tidak Akan Efektif
Saat ini, Indonesia belum memiliki regulasi pembatasan usia kendaraan. Meski demikian, Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) Nomor 2 Tahun 2024 memberikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wewenang untuk membatasi usia dan jumlah kendaraan bermotor.
"Orang Indonesia masih banyak yang tidak mau balik nama atau bahkan mengakali pajak progresif, sehingga pencatatan data kendaraan tidak valid. Makanya, Jasa Raharja kemarin itu menyarankan skema dimaksud dihilangkan. Tetapi secara umum, kebijakan seperti ini tidak relevan diterapkan di Indonesia," ujar Darmaningtyas kepada Kompas.com, Senin (9/12/2024).
Pendapat senada juga disampaikan oleh Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara. Ia menilai bahwa penerapan pembatasan usia kendaraan di Indonesia memerlukan kajian mendalam.
Menurutnya, kondisi ekonomi, luas wilayah, dan karakter masyarakat Indonesia sangat berbeda dibandingkan negara seperti Singapura.
Baca juga: Alasan Pembatasan Usia Kendaraan Sulit Diterapkan di Jakarta
"Kalau kita bilang, negara lain saja bisa, misalnya Singapura sudah menerapkan aturan pembatasan usia kendaraan, mesti dilihat GDP-nya di sana berapa? Di sini kan nggak sama seperti Singapura," ujar Kukuh dalam kesempatan terpisah.
Selain itu, Kukuh menyoroti keterbatasan infrastruktur transportasi umum di Indonesia. Dibandingkan negara-negara yang sudah memberlakukan pembatasan kendaraan, Indonesia masih jauh tertinggal. Hal ini membuat kendaraan pribadi tetap menjadi kebutuhan utama masyarakat.
"Harus dilihat secara keseluruhan. Bukan hanya dari kacamata industri saja, tapi juga secara ekonomi bagaimana dampaknya," kata Kukuh.
Baca juga: Usai Perbaikan, Layanan SIM Keliling Kembali Beroperasi Hari Ini
Kebijakan di Singapura dan China
Singapura dikenal dengan aturan ketat terkait kepemilikan kendaraan. Selain membeli mobil, warga di sana diwajibkan memiliki Certificate of Entitlement (COE) yang berlaku selama 10 tahun. Untuk memperpanjang COE, kendaraan harus lolos uji kelayakan.
Pajak kendaraan di Singapura juga sangat tinggi, sehingga harga kendaraan menjadi jauh lebih mahal dibandingkan Indonesia. Sebagai contoh, harga Honda CR-V di Singapura mencapai Rp 1,4 miliar, sementara di Indonesia harganya berkisar Rp 500 juta.
Di China, khususnya Beijing, pembatasan jumlah kendaraan dilakukan melalui undian plat nomor. Warga yang ingin menggunakan mobil harus mendaftar untuk mendapatkan lisensi pelat kendaraan.
Namun, kuota yang terbatas membuat tidak semua pemilik mobil dapat menggunakan kendaraannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.