JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Perindustrian RI (Kemenperin) memegang teguh komitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah dengan tingkat karbon nol persen pada 2060 mendatang.
Salah satu alat yang akan digunakan untuk mencapainya melalui adopsi kendaraan listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV) yang dilakukan secara bertahap.
"Secara perlahan kita akan menumbuhkan industri ke ekosistem mobil listrik. Dalam pengembangannya, industri otomotif dalam negeri memiliki peta jalan tahun 2030 akan ada mobil dan bus listrik sebanyak 60.000 unit," kata Direktur Industri Logam Kemenperin Liliek Widodo dalam diskusi virtual di Jakarta, Selasa (21/11/2023).
Baca juga: Lelang Mobil F1 Lewis Hamilton, Terjual Rp 290 Miliar
"Sehingga angka terkait dapat mengurangi konsumsi bahan bakar BBM sebesar 7,5 juta barel dan sekaligus menurunkan emisi CO2 sebanyak 2,76 juta ton," lanjutnya yang mewakili Menteri Perindustrian RI Agus Gumiwang Kartasasmita.
Ia menyatakan, saat ini sudah ada berbagai regulasi telah diterbitkan sebagai wujud nyata pemerintah dalam mendukung pertumbuhan dan pemakaian kendaraan listrik berbasis baterai.
Apalagi, industri otomotif Indonesia terbilang cukup maju dengan kehadiran 26 produsen kendaraan roda empat atau lebih dengan nilai investasi Rp 143 triliun dan Rp 30,39 triliun di roda dua lewat 62 perusahaan.
Jumlah tersebut mampu menyerap tenaga kerja sampai 1,5 juta jiwa di sepanjang rantai nilai industri.
Baca juga: Tahun 1938, Rekor Tercepat Naik Mobil Jakarta-Surabaya Cuma 8 Jam
"Jadi, mobil-mobil sekarang yang masih menggunakan energi fosil, kita arahkan secara bertahap untuk bisa beralih ke industri baru terbarukan, termasuk baterai listrik yang berbahan baku nikel, kobalt, mangan dan sebagainya yang kaya di Indonesia," tutur Liliek.
Dikatakan juga bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki cadangan nikel besar yaitu 21 juta ton atau 30 persen dari cadangan dunia.
Hal ini membuat negara memiliki potensi menjadi pemain strategis dalam industri baterai lithium di dunia. Apalagi diperkirakan hingga 2030, kebutuhan nikel untuk material baterai pada kendaraan listrik akan terus meningkat.
"Kalau dilihat pohon industri, kita sudah mampu mengolah nikel untuk 2 teknologi baik Pyrometallurgy dan Hydrometallurgy. Untuk Pyrometallurgy, kita menghasilkan stainless steel, HRC, dan produk-produk turunannya," ujar dia.
"Tetapi untuk Hydrometallurgy, kita berharap dapat mengolah bijih nikel menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) maupun MSP (Mixed Sulphide Precipate). Dari situ, kita olah jadi nikel sulphate dan kobalt sulphate hingga turunan-turunannya, sehingga ekosistem baterai listrik bisa kita ciptakan di dalam negeri," kata Liliek lagi.
Baca juga: Brio Satya Rebut Status Mobil Murah Terlaris di Indonesia Oktober 2023
Kemenperin juga telah melakukan proyeksi terhadap kebutuhan nikel berdasarkan target kuantitatif dalam Permenperin No. 6/2022.
Berdasarkan studi kasus terhadap baterai kendaraan roda dua dan empat yang beredar di Indonesia, maka bisa diproyeksikan bahwa pada tahun 2025 kebutuhan nikel mencapai sebesar 25.000 ton, sedangkan pada 2030 mencapai angka 37.000 ton.
"Kebutuhan ini kalau dilihat bisa dicukupi dari pengolahan smelter di dalam negeri sehingga kami dorong itu bisa diolah di dalam negeri, nanti sisanya bisa diekspor," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.