JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia belum mampu menangani kejadian khusus pada mobil listrik. Salah satu yang paling krusial adalah jika terjadi kondisi terburuk, yaitu sampai mobil listrik terbakar.
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Agus Purwadi menilai Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia belum mampu menangani kejadian ekstrem ini.
Penanganan kendaraan terbakar, kini masih untuk kendaraan dengan mesin pembakaran dalam (internal combustion engine/ICE). Padahal panas atau potensi api yang timbul pada kendaraan listrik lebih besar.
"Iya, soal safety kita belum siap, belum punya dan ini diakui (pemerintah)," katanya saat ditemui di Jakarta belum lama ini.
Baca juga: Masuk Era Kendaraan Listrik, SDM Indonesia Harus Sudah Siap
"Ini bahaya, even di luar saja yang sudah training masih kewalahan menghadapinya (saat kendaraan listrik terjadi kebakaran). Seperti di Perancis itu, malah jadinya ratusan bus grounded karena temperatur tinggi setelah terbakar," lanjut Agus.
Lebih jauh, Agus menyatakan suhu tinggi yang dikeluarkan kendaraan listrik ketika terjadi insiden kebakaran dikarenakan adanya korsleting pada baterai. Suhu ini, bahkan dapat mencapai lebih dari 2.760 celcius (berdasarkan laporan USFA).
Sehingga ketika kondisi terkait, objek yang terbakar tidak bisa langsung disiram air atau disemprot menggunakan alat pemadam api ringan untuk memutus api.
Pada beberapa kejadian di luar negeri, menyiram air ke kendaraan listrik saat terbakar tidak berpengaruh signifikan. Malah timbul masalah lainnya seperti limbah yang masuk ke selokan dan lain-lain.
Baca juga: Popularitas Mobil Listrik di Indonesia Sebatas Tren?
"Itu juga ketika disemprot, ada jarak tertentu. Kalau terlalu dekat seperti kendaraan yang konvensional, bisa menyambar (api-nya)," kata Agus.
Saat ini, cara penanganan tepat ketika mobil listrik terbakar tidak dimiliki banyak orang, sekalipun di negara yang sudah populer menggunakan kendaraan listrik.
Kata dia banyak tenaga ahli yang sudah mendapat pelatihan kewalahan memadamkan api di kendaraan listrik.
Baca juga: Toyota Mau Jual Hybrid Murah di Segmen B, Hyryder Masuk Indonesia?
"Oleh karena itu yang kita kunci ialah terkait safety baterainya supaya dampak ketika terjadi kebakaran tidak parah. Kita belum punya pabrik baterai, sehingga standarisasi ini mengikuti berdasarkan pabrik pembuatnya," ucap Agus.
"Ya kita akui, kita belum sampai ke situ (penanganan insiden kendaraan listrik). Oleh sebab itu maka untuk memastikan konsumen aman dan nyaman, penjualan BEV itu wajib menggaransi minimal 7 tahun. Lalu dia juga harus bertanggung jawab terhadap limbah," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.