JAKARTA, KOMPAS.com - Guna menekan penyebaran virus corona (Covid-19), pemerintah Indonesia resmi melarang tradisi mudik tahun ini. Namun, hal tersebut, tak serta-merta membuat masyarakat kehabisan akal mencari cara agar bisa kembali ke kampung halaman.
Ragam modus dilakukan, mulai dengan menggunakan travel gelap dengan mencari jalan tikus, rela bersembunyi di dalam bagasi bus, sampai mengakali petugas dengan menyewa truk logistik.
Bahkan, dengan beroperasinya kembali transportasi umum setelah mendapat izin Kementerian Perhubungan (Kemenhub), justru menjadi celah baru bagi pemudik.
Baca juga: Ini Daftar Tujuan Bus AKAP yang Sudah Beroperasi, Jawa dan Sumatera
Padahal, dalam aturan yang dirilis Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sudah dijelaskan soal kriteria orang yang boleh berpergian.
Salah satunya adalah menyertakan surat hasil lab keterangan negatif Covid-19 atau surat keterangan sehat, baik dari rumah sakit, puskesmas, dan klinik kesehatan. Kemenhub sendiri hanya memberikan izin pada beberapa Perusahaan Otobus (PO) dengan stiker khusus yang dilengkapi barcode.
Berdasarkan fakta di lapangan, marak terjadinya pemalsuan stiker izin beroperasi untuk bus antarkota antar provinsi (AKAP), termasuk juga bisnis jual-beli surat keterangan sehat dan negatif Covid-19 yang bisa didapat dengan mudah secara online dengan harga terjangkau.
"Betul, ini banyak kejadian seperti ini, tapi kami dari pihak perusahaan bus sendiri kan tidak bisa melakukan pengecekan apakah yang penumpang bawa itu (surat) benar atau tidak. Karena itu dari awal kami minta, ada petugas kesehatan di terminal atau utusan dari Gugus Tugas," ucap Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan, Kamis (14/5/2020).
Baca juga: Catat Denda dan Sanksi Pengendara yang Langgar PSBB Bodebek
"Untuk stiker juga demikian, ada beberapa oknum lah yang mencetak sendiri agar bisa beroperasi juga. Padahal busnya pariwisata bukan AKAP, tapi pakai stiker tersebut, sementara Kemenhub hanya mengizinkan yang sudah terdaftar," kata dia.
Kondisi ini, menurut Sani membuat situasi tidak kondusif dan tak sejalan dengan tujuan awal dari pemerintah. Apalagi, komunikasi dari pusat dengan petugas-petugas di lapangan, terutama pada pos penyekatan yang ada di daerah juga memiliki persepsi yang berbeda.
Menanggapi hal ini, Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi indonesia (MTI) Pusat, mengatakan hal ini membutikan adanya kelemahan pengawasan dan koordinasi yang tidak diantisipasi dari awal oleh pemerintah.
Baca juga: Aturan Tidak Jelas, Pengusaha Bus Minta Ketegasan soal Bebas Covid-19
"Harusnya dibuat satu keterangan jelas detailnya seperti apa, tenaga medis pun harusnya di tempatkan di terminal bus AKAP agar bisa ikut mengawasi karena mereka-mereka yang paham soal kesehatan, kalau orang terminal pasti tidak tahu surat itu palsu atau tidak, benar tidaknya kan bukan bidangnya mereka," ucap Djoko.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.