Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kembali Beroperasi, Bus AKAP Justru Bisa Rugi

Kompas.com - 13/05/2020, 03:22 WIB
Stanly Ravel,
Agung Kurniawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tercatat ada 38 Perusahaan Otobus (PO) dengan total 300 unit bus AKAP, sudah mendapat izin untuk beroperasi kembali di tengah larangan mudik Lebaran. Namun, ketika bus AKAP mulai beroperasi di tengah pandemi, justru bisa rugi karena sepi.

Pelayanan bus tersebut tidak dibuka secara umum, namun hanya melayani perjalanan orang dalam kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya dalam Surat Edaran Nomor 4 yang dikeluarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Namun demikian, hal ini rupanya seperti buah simalakama bagi Pengusaha Otobus (PO). Pasalnya, ketatnya aturan yang diberikan membuat penumpang yang menggunakan moda transportasi, termasuk bus AKAP jadi minim.

Baca juga: Langgar PSBB, Pengendara di Jakarta Bisa Dikenakan Sanksi Kerja Sosial

Contoh seperti yang diutrakan Anthony Steven Hambali, pemilik PO Sumber Alam. Pada hari pertama beroperasi dari Jakarta menuju Yogyakarta, Anthony mengatakan hanya membawa satu penumpang.

Kemenhub, BPTJ, Kepolisian, dan Dishub DKI awasai penyelanggaran transportasi darat di Pulo GebangKemenub Kemenhub, BPTJ, Kepolisian, dan Dishub DKI awasai penyelanggaran transportasi darat di Pulo Gebang

"Mau bagaimana lagi, akhir ya saya tetap minta kru untuk bawa penumpang itu. Kalau mau dibilang memang aturanya ribet dan tidak singkron, karena ada beberapa yang diizinkan di Pulo Gebang, tapi saat penyekatan di daerah dibilang tidak sesuai dan lain sebagainya, kasihan juga penumpangnya," ucap Anthony saat dihubungi Kompas.com, Selasa (12/5/2020).

Mengenai aturan yang tidak singkrong, fokusnya pada masalah dokumen mengenai pernyataan sehat. Ada yang harus menyertakan hasil tes negatif Covid-19, ada juga persepsinya cukup dengan surat keterangan sehat dari rumah sakit atau bahkan puskesmas dan klinik kesehatan.

Anthony menjelaskan, bila penumpang yang mendesak harus menyertakan hasil uji lab negatif Covid-19, pastinya akan sulit karena biaya rapid test cukup mahal. Saat diakumulasikan dengan harga tiket bus AKAP yang juga sudah melambung tinggi, logisnya masyarakat akan sungkan.

Baca juga: Banyak yang Cari, Ini Deretan Mobil Bekas Rp 70 Jutaan

"Logika dibandingkan harus menggunakan bus AKAP dengan keluar ongokos lebih banyak, lebih baik masyarakat pergi dengan menggunakan moda transportasi pribadi atau mobil pribadi. Untuk kami dengan mambawa penumpang yang satu atau dua saja itu sebenarnya rugi karena tidak nutup operasional," ucap Anthony.

"Posisinya sekarang ini seperti kami dihimpit dengan masyarakat, kalau misalkan dari terminal diizinkan lalu di penyekatan tidak boleh, kasihan kan, masa harus putar balik lagi. Kalau dibuat seperti ini lebih baik tidak beroperasi sekalian," kata dia.

Terkait soal rapid test, sebelumnya Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan mengatakan, harusnya pemerintah meyediakan fasilitas tersebut di terminal agar masyarakat yang mau berangkat bisa melakukan pengujian lansung di lokasi.

Petugas kepolisian memeriksa sejumlah kendaraan yang melintas di jalan Jakarta-Cikampek, Cikarang Barat, Jawa Barat, Kamis (7/5/2020). Pemerintah menyatakan masyarakat Indonesia tetap dilarang mudik, tapi ada pengecualian bagi ASN, prajurit TNI dan Polri, pegawai BUMN, lembaga usaha, dan LSM yang berhubungan dengan percepatan penanganan COVID-19 serta masyarakat yang keluarganya meninggal atau keluarga sakit, repatriasi, pekerja migran Indonesia, TKI, dan pelajar atau mahasiswa yang akan kembali ke tanah air. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN Petugas kepolisian memeriksa sejumlah kendaraan yang melintas di jalan Jakarta-Cikampek, Cikarang Barat, Jawa Barat, Kamis (7/5/2020). Pemerintah menyatakan masyarakat Indonesia tetap dilarang mudik, tapi ada pengecualian bagi ASN, prajurit TNI dan Polri, pegawai BUMN, lembaga usaha, dan LSM yang berhubungan dengan percepatan penanganan COVID-19 serta masyarakat yang keluarganya meninggal atau keluarga sakit, repatriasi, pekerja migran Indonesia, TKI, dan pelajar atau mahasiswa yang akan kembali ke tanah air. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.

Namun demikian, harus distimulus dengan pemberian dispensasi khusus terkait biaya pengetesan. Artinya harus ada subsidi sehingga biaya yang dibebankan masyarakat juga tidak terlalu tinggi seperti umumnnya.

"Masyarakat yang menggunakan bus itu kan kalangan menengah, artinya mereka juga pergi naik bus karena lebih efesien dari pada moda lain yang lebih mahal. Kalau harus rapid test sendiri itu cukup malah harganya," ujar Sani.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau