Jakarta, KompasOtomotif - Salah satu warisan Bernie Ecclestone adalah kesepakatan dengan Bruno Michels soal penyelenggaraan feeder series untuk F1. Perubahan nama dari GP2 menjadi F2 makin menguatkan bahwa ajang dengan nama lengkap FIA Formula 2 Championship ini adalah langkah terdekat para pebalap untuk bisa berlaga di F1, kasta tertinggi balapan Formula.
Pemenang seri GP F1 Russia 2017, Valtteri Bottas bisa jadi salah satu pebalap yang melewatkan jenjang ini (F2). Kendati demikian F2 sudah berhasil mencetak 2 juara dunia F1 yaitu Lewis Hamilton (3 kali) dan Nico Rosberg (juara dunia 2016).
Masih banyak pebalap lain jebolan F2 yang masih aktif di F1 seperti Romain Grosjean (HAAS), Nico Hulkenberg (Renault), Joylon Palmer (Renault), Marcus Erricson (Sauber), Sergio Perez (Force India) dan Stoffel Vandoorne (Mclaren). Sementara runner up musim lalu, Antonio Giovinazzi saat ini menjadi reserve driver di Ferrari.
Tinjauan secara teknis ajang ini sangat berbeda dibanding dengan balap F1. Saya menyebutnya seperti Formula One Make Race karena hampir semua komponen diseragamkan. Seperti mesin 4.0L, V8, natural aspirated (non-turbo) buatan Mechacrome. Sasis didesain Dalara dan digunakan sejak 2011, gearbox diproduksi oleh Hewland, perangkat elektrik disuplai oleh Magneti Mareli dan beberapa komponen lain.
Hanya ban yang diseragamkan dengan F1 memakai Pirelli, meskipun untuk ban kering tanpa disediakan kompon ultra soft.
Hal yang menarik untuk saya saat menjadi observer di seri pembuka, Bahrain, adalah tidak adanya realtime data telemetri yang diterima oleh tim, dan hanya data yang dihasilkan GPS (longitude, altitude, latitude dan time stamp) yang secara realtime diterima oleh teknisi. Artinya perubahan di mobil tidak akan diketahui secara langsung dan setelah sesi berakhir barulah data diunduh.
Candradimuka
Bagi saya, F2 ini adalah kawah candradimuka calon pebalap F1. Intuisi pebalap sangat menentukan untuk memilih strategi yang tepat. Karena, sering kali strategi awal bisa berubah akibat kondisi yang terjadi di lintasan balap, sehingga penyesuaian di F2 dihasilkan hanya dengan cara komunikasi radio antara pebalap dan teknisi. Apabila pebalap tidak memiliki kemampuan untuk merasakan perubahan dalam penguasaan mobil balap, niscaya strategi serapi apapun akan hancur akibat salah atau ketiadaan informasi tersebut.
Pertanyaan selanjutnya, apabila semua diseragamkan apakah tidak perlu lagi penyetelan untuk kendaraan dan hanya mengandalkan strategi balap? Tentu saja tidak.
Saat berbincang dengan Gaetan Jego, engineer Pertamina Arden F2 Team, saya mendapatkan informasi bahwa pengelolaan temperatur menjadi hal utama dalam memenangkan balapan. Misal, pada aliran udara di roda depan akan disesuaikan menurut perkiraan kondisi di sirkuit tersebut. Saat di Bahrain cerobong udara dibiarkan 100 persen terbuka karena cuaca sangat panas dan tentu akan berbeda saat balapan di Barcelona minggu ini.
Satu hal lagi kenapa balapan F2 diselenggarakan di akhir minggu yang sama dengan balapan F1? Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk ajang pamer para pebalap F2 kepada tim-tim F1 dan memudahkan para petinggi tim F1 untuk memantau pebalap yang diminatinya.
Indonesia
Setelah Rio Haryanto berkiprah di seri GP2 (F2) berlanjut ke F1, sambil menunggu peluang untuk kembali balap di musim 2018, maka harapan saat ini bertumpu kepada Sean Gelael, pebalap tim Pertamina Arden. Sean saat ini masuk musim ke-2 balapan di seri ini.
Sepak terjangnya mendapat sambutan baik dan bonus yang sangat tidak diduga, yakni menjadi test driver Scuderio Toro Rosso.
Berjuanglah terus para pebalap Indonesia, buatlah Indonesia bangga dengan prestasi kalian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.