Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
PERAHU TERBALIK

Duka Desa Padang, Duka Dunia Pendidikan

Kompas.com - 05/05/2011, 04:04 WIB

ADI SUCIPTO KISSWARA

Terbaliknya perahu tambangan yang menewaskan lima orang, dan empat lagi masih dicari, pada Senin (2/5) tidak membuat warga di tepian Bengawan Solo takut. Pada Rabu (4/5), bahkan sesaat setelah kejadian itu pun, perahu tetap saja dipadati penumpang yang akan pergi ke seberang bengawan. Apa boleh buat, menumpang perahu tambangan adalah cara paling cepat bagi warga dalam melakukan aktivitas kesehariannya.

Bagi warga desa-desa di Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, atau desa-desa di kecamatan lain di pinggiran Bengawan Solo, menumpang perahu tambangan adalah hal biasa untuk mempersingkat perjalanan.

Dari Dusun Genuk di Desa Padang, misalnya, warga harus memutar 10-30 kilometer jika harus melintasi jembatan-jembatan terdekat, seperti Malo, Kalikethek, Glendeng, dan Kasiman. Padahal, dengan perahu tambangan mereka butuh waktu tak sampai 15 menit untuk menyeberangi sungai selebar 200 meter itu.

Soal keselamatan, mereka sepertinya tak risau kendati Bengawan Solo tengah meluap atau statusnya siaga I seperti hari-hari ini.

Mengenai korban terbaliknya perahu tambangan dari Genuk ke Desa Sale di Kecamatan Kalitidu itu, hingga Rabu sore kemarin sudah ditemukan empat korban meninggal, seorang tewas saat kejadian, dan 23 orang selamat. Dengan demikian, masih ada empat korban yang masih dicari.

Sebagian besar atau 29 dari 32 penumpang perahu naas itu adalah warga Desa Padang di Kecamatan Trucuk. Yang lainnya adalah warga Bojonegoro Kota, warga Desa Mori di Kecamatan Trucuk, dan warga Wates, Kabupaten Kediri. Tak heran kalau warga Desa Padang benar-benar berduka.

Pelajar

Tidak hanya warga Desa Padang, dunia pendidikan di Kabupaten Bojonegoro pun berduka. Pasalnya, 15 dari 32 korban adalah pelajar yang sedang dalam perjalanan menuju sekolah. Dari 15 orang itu, lima orang dinyatakan hilang, dan baru dua ditemukan jenazahnya. Mereka adalah Nurin Nikmah (16), siswa MA Abu Darrin Dander, dan Nurul Wijayanti (17), siswa SMK Negeri 1 Bojonegoro.

Peristiwa naas itu terjadi bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2011. MTs Negeri 1 Bojonegoro kehilangan dua siswa, yakni Fety May Nurhidayah (15) dan Yhana Octaviani (15) yang saat ini belum ditemukan.

Yhana dikenal rajin dan cerdas. Fety menjadi ketua II OSIS dan sering ikut lomba pidato bahasa Inggris. Dia juga selalu masuk tiga terbaik di kelasnya.

Sofia Qoni’, teman dekat Fety, sangat menyesal tak mengerti isyarat yang disampaikan Fety. Dua hari sebelum kejadian, kata Sofia, Fety ke sekolah menghadiri Porseni dengan pakaian serba hitam dan mengajaknya berbincang-bincang di tangga. Lalu, Fety meminta dia menyanyikan lagu Justien Bieber berjudul ”On the Song River Cry”.

Uke, teman Yhana, juga menyesal karena menolak ketika diminta menemani Yhana mengobrol lewat pesan pendek pada Jumat (29/4) malam.

Ayah Fety, Zubaidi, juga menyesal karena tidak sempat menerima cium tangan anaknya itu seperti hari-hari sebelumnya. ”Bengawan Solo sudah merendam sawah. Saya langsung mengecek sehingga Fenty tidak sempat mencium atau menjabat tangan saya,” katanya.

Kepala SMKN 1 Bojonegoro Yudi Pramono yang kehilangan dua siswanya menuturkan, Sri Parti dan Nurul Wijayanti duduk satu bangku di Kelas XI jurusan Administrasi Perkantoran. Keduanya juga bertetangga di Dusun Genuk.

Ibunda Sri Parti, Karmisah, lebih berduka lagi. Pagi itu dia seperahu dengan Sri, tetapi tak bisa menyelamatkannya. Sebenarnya, dia sempat memegangi Sri sesaat setelah perahu yang dikendalikan Wijiyanto terbalik. Akan tetapi, pegangannya lepas, dan Sri hanyut.

Selamat karena helm

Di balik kepedihan sebuah musibah, selalu saja ada rasa syukur, utamanya dari keluarga korban selamat. Sidik, salah satu korban selamat, merasakan keajaiban yang luar biasa.

Saat perahu terbalik, dirinya sempat melepaskan helm dan meraih satu helm lagi untuk pegangan. Dengan dua helm tersebut, dia juga menyelamatkan keponakannya, Lutfi Wahyu Ardianto.

Korban selamat lain, Novitasari, harus melepaskan sepatu dan tasnya yang membuat sulit berenang. Dia bersama Shinta Qoirul Nisa dan Nuryati berpegangan pada perahu yang terbalik sampai akhirnya mendapatkan pertolongan.

Meski sudah biasa menyeberang, sekecil apa pun para korban selamat tetap saja mengalami trauma. Atik Febriani (14), siswa SMP Negeri 5 Bojonegoro, salah satunya. Karena itu, untuk sementara waktu dia tinggal di rumah kakeknya, Surojiyat (84), di Desa Ngablak, Kecamatan Dander, sehingga tidak perlu pergi pulang sekolah menyeberangi Bengawan Solo.

Atik menuturkan, pagi itu perahu hampir penuh. Ada lima sepeda motor, 12 sepeda, dan 30-an penumpang. Air hampir menyentuh bibir perahu. Saat tali tambatan dilepas dan perahu mulai berjalan, sebatang kayu randu yang terhanyut membentur perahu dengan keras.

Perahu terbalik dan seluruh penumpang ataupun muatannya tercebur. Semua penumpang histeris. Awalnya, para penumpang saling berpegangan, tetapi kemudian saling terlepas. Selebihnya, Atik tidak ingat apa-apa lagi sampai ditolong orang.

Warga bersama petugas dari kepolisian, TNI, dan tim SAR gabungan pun sibuk mencari para korban.

Perlu standar keamanan

Terbaliknya perahu penyeberangan atau perahu tambangan di Bojonegoro bukan kali ini saja. Pada 7 Maret lalu dua perahu tambangan terbalik di penyeberangan yang menghubungkan Desa Tulungrejo di Kecamatan Trucuk dan Desa Jetak di Kecamatan Bojonegoro, meski tak ada korban jiwa.

Pada 28 Maret perahu tambangan dari Ledokkulon ke Trucuk juga terbalik. Tiga penumpang dan dua pengendali perahu selamat dengan berenang.

Di sepanjang Bengawan Solo, utamanya di daerah Bojonegoro, terdapat puluhan lokasi penyeberangan. Umumnya menggunakan perahu kayu dengan ukuran panjang 12 meter dan lebar 180 sentimeter.

Ongkos penyeberangan relatif murah. Tidak ada tarif resmi, tetapi penumpang biasa membayar Rp 500-Rp 1.000. Bagi pelajar, bahkan ada tarif langganan Rp 5.000 per bulan.

Meski begitu, pemilik perahu tambangan bisa menghasilkan Rp 75.000 hingga Rp 150.000 per hari dari operasionalnya sejak pagi hingga malam.

Sayangnya, perahu yang harus menghadapi bahaya itu sama sekali tidak dilengkapi peralatan pengaman. Para penumpang umumnya berdiri selama di perjalanan, atau duduk di geladak.

Karena itu, para penumpang sebenarnya juga sangat berharap agar perahu-perahu itu dilengkapi sarana pengaman. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro diharapkan membuat regulasi standar keamanan perahu penyeberangan. Paling tidak, di sisi kanan kiri perahu ada ban yang bisa jadi pegangan jika perahu terbalik.

Bupati Bojonegoro Suyoto menyatakan, untuk sementara akan diterbitkan peraturan bupati guna mengatur standar keamanan perahu penyeberangan. Ke depan, apabila perlu akan dibuatkan peraturan daerah. Namun, bagaimanapun, tambangan tidak bisa ditutup karena memang sangat dibutuhkan warga. Yang terpenting adalah dipikirkan aspek keselamatannya. (ETA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com