Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Matinya Anjir, Matinya Peradaban Sungai

Kompas.com - 14/02/2009, 05:39 WIB

”Untuk rute Banjarmasin-Palangkaraya saja ada 20-an kapal, rute Buntok-Palangkaraya ada dua kapal, dan rute Bahaur, Pangkuh-Palangkaraya ada 10-an buah kapal,” kata Notsen.

Saat ini tinggal tiga kapal melayari rute Bahaur-Palangkaraya dan dua kapal untuk rute Pangkuh-Palangkaraya. Tidak ada lagi kapal pengangkut penumpang dari Banjarmasin dan Buntok ke Palangkaraya, yang dulu dilayani oleh 30-an kapal dan puluhan perahu cepat.

Dampak dari kematian angkutan ini juga terlihat di Pelabuhan Bandar Raya, Kelurahan Pelambuan, Kecamatan Banjarmasin Barat, Kalimantan Selatan. Pelabuhan yang pernah menjadi pusat pelayaran menuju pedalaman Kalimantan itu kini hanya melayani empat kapal jurusan Banjarmasin-Muara Teweh-Puruk Cahu.

Menurut Notsen, penumpang kapalnya kini hanya orang tua, yang mabuk darat kalau naik mobil. Orang-orang tua yang masih terikat dengan sungai, seperti Nenek Ika (60).

Perempuan Dayak ini menuturkan, untuk pergi dari Palangkaraya ke Bahaur naik mobil angkutan antar-jemput butuh uang Rp 75.000 per orang, dengan lama perjalanan tujuh hingga delapan jam.

”Kalau naik kapal cuma Rp 40.000 per orang. Selain lebih murah, juga tidak membikin mual karena jalannya kapal pelan,” katanya.

Berangkat dari Dermaga Rambang pukul 13.30, kapal akan tiba di Bahaur sekitar pukul 07.00 esok harinya.

Selain berharap pada orang-orang tua yang masih terikat dengan sungai, para pemilik perahu kini mengandalkan angkutan kargo barang. ”Biaya pengiriman barang memakai kapal lebih murah, Rp 30.000 per ton. Kalau menggunakan truk Rp 100.000 per ton,” kata Hamran, nakhoda kapal Delta Barito.

Hamran yakin angkutan barang melalui sungai masih belum tergantikan karena lebih murah. Namun, harapan Hamran itu harus berhadapan dengan mendangkalnya alur sungai serta kanal buatan.

Sejak jalan darat trans-Kalimantan dari Banjarmasin ke Palangkaraya mulai lancar pada tahun 2002, sungai dan kanal yang menghubungkan dua kota ini diabaikan. Tak ada lagi pengerukan sehingga sungai dan kanal makin dangkal. Pendangkalan juga dipicu kerusakan ekologi di daerah aliran sungai dan hancurnya hutan di kawasan hulu.

Jembatan-jembatan baru yang dibangun untuk memperlancar jalan darat juga menghalangi kapal-kapal yang lewat. Jalan darat trans-Kalimantan poros selatan telah membunuh jalur sungai itu. Penumpang memilih menggunakan mobil.

”Awal 80-an, ketika survei pembangunan jalan Banjarmasin-Palangkaraya, kami harus lewat sungai dan kanal-kanal itu. Namun, setelah jalan darat jadi, kanal-kanal itu mati,” kata Widodo, pegawai Regional Betterment Office VII Banjarmasin, Departemen Pekerjaan Umum, yang merintis pembangunan jalan trans-Kalimantan.

Jalan trans-Kalimantan Banjarmasin-Palangkaraya menjadi saksi matinya peradaban sungai yang dibangun selama berabad lamanya. (AIK/FUL/RYO/CAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com