JAKARTA, KOMPAS.com - Setiap pengemudi ambulans dituntut untuk memiliki kemampuan khusus dalam menjalankan tugasnya. Pasalnya, sopir ambulans harus mengemudi dalam kecepatan tinggi dan dalam situasi terintimidasi oleh korban yang dibawa, maupun dari kondisi lalu lintas.
Kegiatan ini juga dinilai penuh risiko, pasalnya sopir ambulans mengemudi dalam kecepatan tinggi dan melampaui batas-batas kecepatan yang ada. Seperti melebihi kecepatan maksimal, melawan arus, dan sebagainya.
Belum lagi para sopir ambulans harus berkendara di tengah-tengah masyarakat yang acuh tak acuh terhadap kendaraan-kendaraan prioritas.
Untuk diketahui, ambulans di Indonesia saat ada dua jenis, pertama adalah ambulans yang membawa jenazah, kemudian yang kedua membawa orang sakit.
Kombes Pol Mohammad Tora, Kasubdit Standar Cegah dan Tindak Ditkamsel Korlantas Polri mengatakan, ada beberapa perbedaan terhadap kedua jenis ambulans tersebut.
Selain itu, sopir yang mengemudikan kedua ambulans itu juga melewati tahapan pelatihan yang berbeda.
“Membawa ambulans ini kan ada dua, membawa jenazah dan orang sakit. Kalau orang sakit ini kan banyak butuh pelayanan baik kecepatan, goncangan dan sebagainya. Sedangkan kalau jenazah ini, mohon maaf sudah tidak bernyawa, jadi perlakuannya juga yang harus urgent dan hati-hati adalah yang sakit,” ucap Tora, saat ditemui Kompas.com, di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu (25/2/2023).
Namun menurut Tora, jika melihat fenomena di Indonesia, kulturnya justru ambulans pembawa jenazah yang diperlakukan mendesak.
Dimana tak jarang pengawalan ambulans tersebut berlaku arogan seperti tidak pakai helm hingga pukul-pukul mobil dan lain sebagainya.
“Nah kultur ini yang mau kita ubah, melalui pengemudi ambulans. Karena sebelum berangkat mereka pasti persiapan dulu, briefing dulu pada yang mengantar, nanti pendamping jenazah siapa, teman-teman yang naik motor jangan arogan dan sebagainya. Ini sudah kita imbau sampai Bhabinkamtibmas,” kata Tora.
“Sedangkan untuk ambulans orang sakit kan tidak seperti itu, mengikuti keluarganya sampai 10 mobil, tidak ada yang buka jalan. Jadi kompetensinya kita pisahkan, karena penangannya juga berbeda yang sakit dan yang sudah meninggal,” lanjutnya.
Tora juga mengingatkan bahwa pengawalan ambulans bukan tugas dari masyarakat. Mengingat saat ini sudah banyak fenomena masyarakat yang membantu membuka jalan.
“Sirene dan lampu yang ada di ambulans itu sudah cukup. Tapi kalau kita membantu seakan-akan merasa benar membuka jalan dan kecelakaan, yang ada malah disalahkan. Niatnya bantu tapi malah melanggar,” ucap Tora.
“Jadi pengemudi ini yang nantinya ikut bertanggung jawab, sebelum jalan briefing siapa yang ikut dan sebagainya, tujuannya adalah jangan sampai menambah kecelakaan dan pelanggaran yang lebih banyak, itu tujuannya,” lanjutnya.
https://otomotif.kompas.com/read/2023/02/26/144100715/berisiko-tinggi-polisi-beri-pelatihan-khusus-untuk-sopir-ambulans