Jakarta, KOMPAS.com - Regulasi kendaraan listrik yang akan tertuang dalam Peraturan Presiden, saat ini masih dalam tahap pematangan.
Nama lengkap Perpres itu adalah Peraturan Presiden tentang Program Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Untuk Transportasi Jalan.
Meski beberapa kali dispekulasikan, penerbitan Perpres yang merupakan kelanjutan dari Perpres nomor 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) ini belum juga dilakukan hingga kini.
Di tengah proses penggodokan Perpres inilah, tiba-tiba Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo terkait kendaraan listrik nasional. Ada tiga poin yang ingin disampaikan KPK dalam surat yang ditanda tangani oleh Ketua KPK Agus Rahardjo tersebut.
Pertama, KPK menilai Indonesia harus punya kendaraan listrik bermerek nasional sebagai wujud kemandirian bangsa, serta tidak mengulang kegagalan di masa lalu dalam pengembagan industri otomotif. Karena itu KPK menilai perlu ada sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi dan industri nasional.
Selanjutnya, KPK menyarankan agar Perpres kendaraan listrik perlu segera disahkan. Namun skema insentif, baik fiskal dan nonfiskal harus disempurnakan lebih dulu.
Pemerintah juga diminta memberikan dukungan pendanaan riset pengembangan dan inovasi yang memadai, pembuatan skema pajak dan tarif bea masuk yang sesuai dengan tahapan industri perintis nasional, menyederhanakan regulasi dan kebijakan dalam rangka mewujudkan sinergi antar BUMN, dan dukungan pemasaran produk.
Terakhir, KPK menyarankan agar seluruh kebijakan kementerian dan lembaga terkait dikoordinasikan dalam pola yang lebih strategis dan sinergis, dan menghindari adanya konflik kepentingan.
Selaku asosiasi yang mewadahi sektor industri otomotif di tanah air, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memberikan tanggapan perihal surat tersebut.
Ketua Umum Gaikindo Yohanes Nangoi menilai tak masalah jika Indonesia ingin punya merek mobil listrik nasional. Namun ia mengingatkan jangan sampai pengembangan mobil tersebut mematikan industri kendaraan konvesional yang kini sudah berjalan.
Nangoi kemudian menyatakan, beberapa produk roda empat yang kini beredar di Indonesia sebenarnya sudah hampir 100 persen buatan Indonesia. Walaupun merek yang digunakan merupakan brand asing.
Nangoi mencontohkan duet mobil murah besutan Toyota-Daihatsu, yakni Agya dan Ayla.
"Agya-Ayla itu 80-90 persen sudah produk nasional. Namanya memang ada Daihatsu, Toyota. Tapi 80-90 persen sudah buatan domestik," kata Nangoi di Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Nangoi menilai mobil dengan brand asing namun sebagian besar komponennya sudah buatan lokal, lebih baik daripada mobil merek nasional namun komponennya diimpor dari luar negeri.
Sebab jika komponennya buatan lokal, maka ada multiplier effect yang luar biasa bagi kelangsungan industri dalam negeri.
"Karena tidak cuma mobilnya saja, ada juga perusahaan jok, knalpot, karpet, ini semua menghidupi Indonesia dengan luar biasa," ujar Nangoi.
Khusus untuk mobil listrik, Nangoi menyebut kendaraan jenis ini membutuhkan baterai untuk alat pasokan energinya. Sepengetahuan Nangoi, Indonesia belum bisa mengolah dan memproduksi sendiri baterai.
Oleh sebab itu, Nangoi menyarankan bila serius ingin membuat mobil listrik nasional, alangkah baiknya jika Indonesia fokus dulu membuat baterai.
Jika tidak, ia khawatir Indonesia hanya akan jadi negara pengimpor yang justru bisa mematikan industri yang kini berjalan.
"Kalau kita bikin mobil listrik nasional tapi baterainya impor, sistem manajemen baterainya impor, motor listriknya impor, terus kita jadi apa? Cuma bikin setir sama kursinya doang. Ini artinya industri kita jadi mati," ucap Nangoi.
https://otomotif.kompas.com/read/2018/05/24/123814615/saat-agya-ayla-lebih-dibanggakan-daripada-mobil-listrik-nasional