JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana untuk merevisi Undang-Undang Lalu lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) mencuat agar aturan terhadap pelaku pelanggaran ODOL (over dimension over loading) punya sanksi berat.
Budiyanto, pemerhati masalah transportasi dan hukum, mengatakan, wacana merevisi UU LLAJ karena dianggap belum mampu memberikan efek jera kepada pelaku ODOL dianggap prematur.
Menurut Budiyanto, hal yang lebih penting ialah bagaimana para stakeholders menjalankan aturan tersebut secara tegas dan konsisten.
Baca juga: Tips Melindungi Jok Motor dari Cakaran Kucing
"Tidak konsistennya dari dari pemangku kepentingan yang membidangi angkutan umum barang adalah seperti wacana pelanggaran zero odol yang diwacanakan sejak tahun 2019 selalu ditunda dengan alasan yang kurang obyektif dan transparan," katanya Minggu (30/1/2022).
Menurutnya aturan yang ada relatif sudah cukup memadai, adapun hal yang lebih penting adanya ketegasan dan konsistensi pemangku kepentingan yg bertanggung jawab di bidangnya untuk melaksanakan aturan itu.
Budiyanto mengatakan, pihak yang berkaitan harus tegas dalam menindak pelanggaran odol maupun proses penyidikan apabila terjadi kecelakaan.
"Penyidikan secara komprenhensif harus dihadirkan pada saat terjadi kecelakaan yang melibatkan angkutan umum barang. Artinya penyidikan jgn hanya berkutat pada sopir semata tapi harus menyeluruh," katanya.
Baca juga: Lima Lady Bikers Touring 500 Km, Usung Kebangkitan Ekonomi Jabar
Beberapa pasal di UU LLAJ soal ODOL:
1. Pasal 48 ayat (1)
Setiap kendaraan bermotor yang diopersikan di jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan (dimensi dan daya angkut truk banyak yang dirubah, contoh kasus truk terlibat kecelakaan di Balikpapan).
2. Pasal 277
Mengatur tentang modifikasi, ancamannya pidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah).
3. Dalam Pasal 234 UU LLAJ ayat (1) menyebutkan pengemudi, pemilik kendaraan bermotor dan atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi.
4. Pasal 307
Sanksi terhadap pelanggaran angkutan umum dapat pidana kurungan dua bulan atau denda paling banyak Rp 500.000.
5. Dalam KUHP, Pasal 263 mengakomodir apabila terjadi adanya tindak pidana pemalsuan dengan ancaman penjara 6 tahun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.