TANGERANG, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa penyesuaian pajak pertambahan nilai (PPN) di tahun depan menjadi 12 persen, merupakan amanat Undang-undang.
Sehingga, kenaikan PPN akan secara otomatis berjalan sebagaimana ditetapkan yaitu per-1 Januari 2025. Diketahui, aturan dimaksud ialah Undang-undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
"Itu bukan ketok palu (tidak perlu pengesahan lagi) karena (amanat) Undang-undang. Kalau sudah diundangkan otomatis jalan," ujar Airlangga saat ditemui di ICE BSD City, Tangerang, Minggu (1/12/2024).
Baca juga: Menko Airlangga Jajal Mobil Listrik Aletra L8 EV
Pada kesempatan terpisah, Airlangga juga bilang sampai saat ini kenaikan PPN masih sesuai dengan UU HPP. Namun memang ada beberapa komoditas atau barang yang tidak dikenakan PPN.
"PPN kan ada yang dikecualikan ya, utamanya untuk bahan pokok, bahan penting, dan termasuk pendidikan. Untuk yang lain tentu dilihat di UU saja," ucapnya.
Pernyataan ini berbanding terbalik dengan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut, penerapan kenaikan tarif PPN menjadi sebesar 12 persen berpotensi diundur pelaksanaannya.
"Hampir pasti (kenaikan tarif PPN) diundur," ujar Luhut, ditemui di Jakarta, Rabu (27/11/2024).
Ia menjelaskan, rencana tersebut seiring rencana pemerintah untuk memberi bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat kelas menengah ke bawah. Sehingga kenaikan PPN tidak membebani daya beli mereka.
"PPN 12 itu sebelum itu jadi, harus diberikan dulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya susah," kata dia.
Baca juga: Komparasi Harga BBM Pertamina, Shell, BP dan Vivo 1 Desember 2024
Adapun saat ini, Luhut mengatakan bahwa pemerintah masih menghitung jumlah masyarakat kelas menengah yang bakal menerima bansos terkait kenaikan tarif PPN.
Perlu dipahami, penyesuaian PPN akan memberikan dampak terhadap seluruh elemen dan sektor industri, termasuk otomotif. Apalagi mengingat industri ini memiliki backward dan forward linkages yang besar dengan melibatkan 1,5 juta jiwa.
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam menjelaskan, kenaikan PPN memiliki efek berlipat ganda yang dapat membebani berbagai lapisan ekonomi, terutama masyarakat kelas menengah
Menurutnya, dampak kenaikan PPN tidak hanya terlihat dari lonjakan harga langsung. Peningkatan tarif ini akan menyebabkan naiknya biaya produksi di berbagai sektor industri. Dampak tersebut kemudian menjalar melalui rantai pasok hingga mencapai konsumen akhir.
Sebagai akibatnya, harga barang dan jasa diperkirakan dapat meningkat lebih dari 1 persen, bergantung pada kompleksitas struktur industri yang terpengaruh oleh kebijakan ini.
Baca juga: Apa yang Terjadi kalau PPN 12 Persen Berlaku pada Sektor Otomotif?
"PPN itu pengaruhnya multiplier efek. Bukan berarti 1 persen naik, biaya 1 persen. Tapi bisa lebih dari itu tergantung kedalaman industri," kata Bob saat dihubungi Kompas.com, Rabu (20/11/2024).
Kondisi tersebut menjadi masalah serius bagi kelas menengah yang selama ini menjadi motor utama konsumsi domestik. Bob menyoroti kelompok ini sudah tertekan pasca-pandemi Covid-19, dengan banyaknya yang jatuh ke kelas menengah bawah atau bahkan kategori miskin.
"Permintaan sudah turun, tetapi biaya justru naik. Kelas menengah akhirnya menjadi tumpuan beban pemerintah, termasuk dalam kebijakan PPN ini," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.