JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 diperkirakan akan memberikan dampak yang jauh lebih luas dibandingkan sekadar peningkatan tarif sebesar 1 persen.
Pasalnya, dijelaskan oleh Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam, kebijakan ini memiliki efek berlipat ganda yang dapat membebani berbagai lapisan ekonomi, terutama masyarakat kelas menengah.
Menurutnya, dampak kenaikan PPN tidak hanya terlihat dari lonjakan harga langsung. Peningkatan tarif ini akan menyebabkan naiknya biaya produksi di berbagai sektor industri. Dampak tersebut kemudian menjalar melalui rantai pasok hingga mencapai konsumen akhir.
Baca juga: SPK Toyota Hilux Rangga Tembus 1.000 Unit, Paling Laris Varian Bensin
Sebagai akibatnya, harga barang dan jasa diperkirakan dapat meningkat lebih dari 1 persen, bergantung pada kompleksitas struktur industri yang terpengaruh oleh kebijakan ini.
"PPN itu pengaruhnya multiplier efek. Bukan berarti 1 persen naik, biaya 1 persen. Tapi bisa lebih dari itu tergantung kedalaman industri," kata Bob saat dihubungi Kompas.com, Rabu (20/11/2024)
Kondisi tersebut menjadi masalah serius bagi kelas menengah yang selama ini menjadi motor utama konsumsi domestik.
Bob menyoroti kelompok ini sudah tertekan pasca-pandemi Covid-19, dengan banyaknya yang jatuh ke kelas menengah bawah atau bahkan kategori miskin. Situasi ini diperburuk oleh fokus bantuan sosial pemerintah yang lebih banyak menyasar kelompok miskin.
"Permintaan sudah turun, tetapi biaya justru naik. Kelas menengah akhirnya menjadi tumpuan beban pemerintah, termasuk dalam kebijakan PPN ini," kata dia.
Baca juga: Langkah Darurat Saat Knalpot Motor Kemasukan Air
Daya beli masyarakat yang melemah akan langsung berdampak pada sektor konsumsi, yang hingga kini menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi.
Bob mencatat bahwa sektor otomotif, misalnya, telah mengalami penurunan hingga 15 persen pada 2024 akibat melemahnya permintaan. Kondisi terkait diperparah dengan kenaikan biaya produksi akibat PPN yang lebih tinggi.
"Kenaikan ini akan semakin menyulitkan pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8 persen seperti yang dicanangkan Presiden," ungkap Bob.
Bob menyarankan agar pemerintah menunda kenaikan PPN, mengingat momentum saat ini tidak mendukung kebijakan yang bersifat kontraktif.
Baca juga: Sistem Penyimpanan Mobil dan Motor Sitaan KPK Adopsi dari US Marshal
Ia juga mengingatkan bahwa kenaikan tarif pajak tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan negara, terutama jika ekonomi mengalami kontraksi.
"Ketika tax rate naik, revenue-nya belum tentu ikut naik. Kalau ekonominya shrinking, itu jauh lebih berbahaya," tegasnya.
Lebih jauh, Bob menekankan pentingnya kebijakan yang mendukung investasi dan pertumbuhan. Relaksasi fiskal, menurutnya, lebih tepat untuk menjaga stabilitas pasar dibanding kebijakan yang berisiko memperburuk kontraksi ekonomi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.