JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah RI masih mempertimbangkan memberikan insentif tambahan untuk mobil hybrid, meski terbukti mampu mengurangi emisi gas buang hingga 50 persen dari kendaraan konvensional.
Hal tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Rustam Effendi, karena pemerintah telah menetapkan prioritas untuk mendorong transisi langsung ke kendaraan listrik berbasis baterai (BEV).
"Awalnya kita melakukan transisi energi secara bertahap. Namun ketika sudah berjalan, ditetapkan bahwa kita loncat ke BEV. Ini sudah ditetapkan ketika Presiden sebelumnya," kata dia di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Baca juga: Kenali Tanda-tanda AC Mobil Bermasalah
Kepastian ini termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2021 yang merevisi PP Nomor 73 Tahun 2019 yang mengatur pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil rendah emisi.
"Awalnya pemerintah sepakat untuk menyamakan tarif PPnBM antara mobil BEV dengan hybrid, dalam hal ini Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) yaitu sama-sama nol persen," kata Rustam.
"Namun itu tidak mendorong percepatan BEV sebagaimana amanat Perpres 79/2023 sementara kita sadari tren global mengarah ke BEV. Sehingga pada waktu itu disepakati antar kementerian bahwa memang perlu ada gap antara BEV dengan hybrid," lanjutnya.
Melalui kebijakan dimaksud, mobil PHEV dikenakan tarif PPnBM mulai dari 5 persen tergantung dengan besaran mesin dan emisi.
Baca juga: Hyundai Tucson Resmi Meluncur, Dijual mulai Rp 600 Jutaan
Setelah kebijakan itu berjalan, kata Rustam lagi, pemain BEV tampak tidak berkembang. Tercatat, hanya Hyundai dan Wuling saja yang kerap bermain dan menyatakan komitmennya untuk pasar nasional.
"Sementara untuk mengundang pemain lainnya agak berat karena perbandingan antara mobil konvensional dengan mobil listrik hampir 150 persen. Apabila ditambah biaya masuk, kala itu 50 persen, ditambah PPnBM 15 persen, tidak mungkin mereka masuk ke Indonesia dalam rangka tes pasar," ucap dia.
"Pemerintah saya rasa telah memberikan solusi cerdas yaitu dengan memberikan insentif pembebasan bea masuk dan PPnBM BEV impor asalkan berkomitmen untuk produksi lokal melalui Peraturan BKPM No.6/2023," kata dia.
Sementara untuk produsen yang telah memproduksi BEV secara lokal dengan memenuhi TKDN minimum 40 persen, diberikan diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen.
Baca juga: Apa yang Terjadi kalau PPN 12 Persen Berlaku pada Sektor Otomotif?
"Sebenarnya mobil hybrid sudah mendapatkan insentif dengan PPnBM lebih rendah dari mobil ICE. Jadi kalau ini (insentif yang sama) diberikan ke mobil hybrid, kita jadi kembali lagi. Kita mau dorong yang mana nih?," ucap Rustam.
Oleh sebab itu, ia menyarankan supaya ada skema atau cara baru supaya mobil hybrid bisa mendapatkan insentif lebih. Misalnya, membuat kendaraan berjenis Low Cost Green Car (LCGC) yang terkena PPnBM 3 persen jadi hybrid.
"Prinsipnya selagi tidak terlalu mengganggu rencana pemerintah untuk mengembangkan industri BEV karena yang paling fit dalam kondisi global saat ini serta dalam rangka menyelesaikan defisit impor BBM, saya pikir oke-oke saja sih," tutup dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.