BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan UOB

Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia Dikembangkan demi Kurangi Emisi GRK

Kompas.com - 22/11/2021, 17:32 WIB
Erlangga Satya Darmawan,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penduduk di kota besar Indonesia, seperti Jakarta dan Surabaya, pasti sudah mafhum dengan kebisingan dan asap yang dikeluarkan kendaraan bermotor.

Setiap hari, ratusan kendaraan berlalu lalang menghasilkan polusi suara dan udara. Dari kendaraan itu pula, berton-ton emisi gas rumah kaca (GRK) dilepaskan dan memenuhi langit Indonesia.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) 2021 mencatat, kendaraan bermotor berkontribusi sebesar 70 persen terhadap pencemaran nitrogen oksida (NO), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2) dan partikulat (pm) di wilayah perkotaan.

Selain itu, kendaraan bermotor juga menyumbang sekitar 60 persen dari total polusi udara yang ada di seluruh negeri. Jumlah tersebut merupakan yang terbesar jika dibandingkan sektor lainnya.

Polusi udara yang terus meningkat berakibat buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Menurut laporan United Nations Environment Programme (UNEP), sebanyak 7 juta orang meninggal setiap tahun akibat paparan kualitas udara yang buruk. Selain itu, 70 persen dari kematian ini terjadi di Asia Pasifik, termasuk di Indonesia.

Untuk mengatasi masalah itu, pembangunan ekosistem kendaraan listrik dapat menjadi salah satu solusinya. Kendaraan ini dinilai dapat menghasilkan polusi udara lebih sedikit jika dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak.

Sebagai informasi, menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2017, kendaraan listrik murni (electric vehicle/EV) menghasilkan 0 gram per kilometer (km) emisi CO2.

Sementara, mobil jenis plug in hybrid (PHEV) atau kombinasi bahan bakar minyak (BBM) dan baterai yang dapat diisi ulang di luar sistem mesin menghasilkan 45 gram per km emisi CO2.

Selanjutnya, mobil listrik hibrida (HEV) menghasilkan emisi CO2 sebesar 70 gram/km. Emisi GRK pada mobil HEV lebih tinggi karena masih mengandalkan BBM karena isi ulang baterai mengandalkan putaran mesin. Sementara, mobil konvensional berbahan bakar bensin menyumbang 125 gram per km emisi CO2.

Selain ramah lingkungan, keberadaan kendaraan listrik juga bermanfaat dalam menghemat anggaran negara. Dalam perhitungan Perusahaan Listrik Negara (PLN), penghematan itu mencapai ratusan triliun dari pengurangan impor minyak dan gas (migas).

Perhitungan PLN juga menyebutkan bahwa konsumsi energi kendaraan listrik lebih murah ketimbang mobil berbahan bakar petrol. Bila dihitung berdasarkan tarif PLN sebesar Rp 1.467 per kWh, mobil listrik hanya membutuhkan biaya listrik sebesar Rp 2.934 per 10 km.

Sementara itu, rata-rata mobil mesin bensin saat ini membutuhkan 1 liter BBM untuk jarak tempuh 10 kilometer.

Jika dirupiahkan, pengeluaran mobil konvensional per 10 km sebesar Rp 9.500. Ini berarti, mobil listrik lebih hemat Rp 6.500 per 10 km ketimbang mobil konvensional.

Komitmen Indonesia bangun ekosistem kendaraan listrik

Pada kunjungan ke pameran otomotif Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2021 di ICE BSD, Rabu (17/11/2021), Presiden Joko Widodo pun menegaskan komitmen Indonesia dalam mempercepat pembangunan ekosistem kendaraan listrik.

Apalagi, pembangunan ekosistem kendaraan listrik juga sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen lewat usaha sendiri atau unconditional pada 2030. Persentase tersebut setara dengan 834 juta ton CO2e.

Kemudian, bila mendapatkan bantuan dari dunia internasional atau conditional, emisi GRK yang diturunkan mencapai 40 persen atau setara 1.081 juta ton CO2e.

Ilustrasi kendaraan listrik.(Dok. Shutterstock/ BigPixel Photo) Ilustrasi kendaraan listrik.

Kedua target tersebut merupakan komitmen Indonesia dalam berkontribusi terhadap penanganan pemanasan global. Komitmen ini tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Selain sesuai dengan NDC, pembangunan ekosistem kendaraan listrik juga bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain utama dalam rantai pasok industri kendaraan ramah lingkungan dunia.

Jokowi menambahkan, keseriusan pemerintah dalam mendukung ekosistem kendaraan listrik ditunjukkan melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 terkait percepatan program kendaraan listrik berbasis baterai (KBLBB).

Pada beleid tersebut, terdapat beragam upaya yang dilakukan oleh pemerintah, seperti percepatan pengembangan industri KBLBB dalam negeri, penyediaan infrastruktur pengisian listrik dan pengaturan tarif tenaga listrik untuk KBLBB, pemenuhan terhadap ketentuan teknis KBLBB, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Peta jalan tersebut melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, yakni pabrikan kendaraan, produsen baterai, pilot project, konsumen, dan infrastruktur seperti charger station.

Percepatan produksi KBLBB dan insentif

Adapun salah satu isi peta jalan tersebut adalah percepatan produksi KBLBB. Untuk roda empat, pemerintah menargetkan 400.000 unit bisa diproduksi pada 2025. Sementara, kendaraan roda dua mencapai 1,76 juta unit.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Taufiek Bawazier mengatakan, target produksi tersebut akan ditingkatkan pada 2030. Produksi kendaraan roda empat ditargetkan 600.000 unit dan 2,45 juta unit roda dua.

Kemudian, pemerintah juga mendorong perusahaan global untuk membuat pabrik kendaraan listrik dan baterai di Indonesia. Bahkan, pemerintah tengah menyiapkan kawasan ekonomi khusus untuk pengolahan nikel dan baterai litium.

“Target tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020 tentang Spesifikasi, Peta Jalan Pengembangan, dan Ketentuan Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (battery electric vehicle),” ujar Taufiek seperti melansir laman resmi Kemenperin, Senin (22/2/2021).

Ilustrasi kendaraan listrik.(Dok. Shutterstock/Sopotnicki) Ilustrasi kendaraan listrik.

Untuk menunjang peta jalan, lanjut Taufiek, Kemenperin juga telah menerbitkan Permenperin No 28 Tahun 2020 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai dalam Keadaan Terurai Lengkap (CKD) dan Keadaan Terurai Tidak Lengkap (IKD).

Tak hanya itu, untuk mendorong keberadaan kendaraan listrik, pemerintah juga memberikan berbagai insentif, baik fiskal maupun nonfiskal.

Insentif tersebut terdiri atas pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar 0 persen dan pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor (BBN-KB) sebesar 0 persen khusus di Jakarta. Untuk Provinsi Jawa Barat, tarif BBN-KB sebesar 10 persen diterapkan pada pembelian mobil listrik dan 2,5 persen pada sepeda motor listrik.

Selanjutnya, masyarakat dapat menikmati insentif down payment atau uang muka minimum sebesar 0 persen khusus di Jakarta. Pemilik mobil listrik di Jakarta juga terbebas dari aturan ganjil-genap.

Tak ketinggalan, pemerintah juga memberikan beragam insentif bagi produsen kendaraan listrik ataupun komponen-komponennya. Insentif terdiri dari mini-tax holiday, tax holiday, dan supertax deduction.

Butuh investasi dan pembiayaan

Dalam membangun ekosistem mobil listrik, pemerintah membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Apalagi, biaya yang dibutuhkan untuk mewujudkan target tersebut sangat besar.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, Indonesia membutuhkan investasi sebesar 35 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 493,5 triliun untuk mendukung pengembangan industri baterai litium dan kendaraan listrik. Investasi ini dibutuhkan untuk 5-10 tahun ke depan.

“Maka dari itu, pemerintah telah memberikan berbagai kemudahan untuk terus mendukung investasi yang lebih besar masuk dalam industri otomotif. Kemudahan tersebut sudah kami aplikasikan lewat berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah,” jelas Luhut seperti diberitakan Kompas.com, Senin (25/10/2021).

Di Indonesia, salah satu pihak swasta yang terus memberikan dukungan untuk menciptakan lingkungan berkelanjutan, termasuk dalam mendorong keberadaan kendaraan ramah lingkungan dan penggunaan energi hijau adalah UOB Indonesia.

Dukungan tersebut mereka lakukan melalui keberadaan sustainable financing. Lewat upaya tersebut, UOB Indonesia siap membantu mendorong beragam proyek pembiayaan yang ramah lingkungan.

Komitmen UOB Indonesia untuk membantu pemerintah dalam mempercepat kehadiran ekosistem kendaraan listrik merupakan bagian dari rangkaian solusi pembiayaan berkelanjutan dari UOB Indonesia untuk menciptakan kota berkelanjutan.

Solusi tersebut hadir melalui UOB Sustainable Finance Frameworks. Adapun Framework ini terdiri dari Green Trade Finance Framework, Smart City Sustainable Finance Framework (SCSFF), Real Estate Sustainable Finance Framework, dan Green Circular Economy Framework.

Sebagai informasi, kerangka SCSFF menetapkan berbagai kriteria yang harus dipenuhi klien korporasi dan institusi saat mengakses berbagai produk UOB Indonesia.

Salah satu kriteria tersebut adalah mewajibkan perusahaan memiliki strategi dan tujuan keberlanjutan yang jelas.

Selain itu, perusahaan juga harus dapat menunjukkan ragam aktivitas berkelanjutan yang mendorong perbaikan kualitas hidup masyarakat.

Ragam aktivitas berkelanjutan tersebut bisa melalui penggunaan energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, transportasi ramah lingkungan, konstruksi bangunan ramah lingkungan, pengelolaan air dan limbah yang berkelanjutan, serta adaptasi terhadap perubahan iklim.

UOB IndonesiaDok. UOB Indonesia UOB Indonesia

Artikel ini merupakan bagian kelima dari seri Membangun Kota Berkelanjutan hasil kerja sama KG Media dan UOB Indonesia.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau