Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sucess Story Bagus Susanto Managing Director FMI

Lembaran Baru di Merek "Biru"

Kompas.com - 11/12/2014, 08:00 WIB
Agung Kurniawan

Penulis

Kehidupan ini sangat indah. Tak semua perjalanan hidup manusia berjalan dengan mulus. Tentu banyak rintangan dan hambatan dalam meraihnya. Kuncinya adalah kesabaran, keteguhan hati, memiliki prinsip yang kuat, jujur, apa adanya, dan selalu melakukan inovasi. Di balik kesuksesan seseorang, ada kisah-kisah mengharukan dan menyedihkan. Semua itu adalah proses yang harus dilalui. Kompas.com menurunkan serial artikel "Success Story" tentang perjalanan tokoh yang inspiratif. Semoga pembaca bisa memetik makna di balik kisahnya.

KompasOtomotif - Setelah mendapat pengalaman setahun setengah bekerja di Jepang, Bagus Susanto kembali ke Ibu Kota atas permintaan atasannya. Setibanya di Indonesia, Bagus mendapat laporan kalau kondisi perusahaan sudah berubah, sampai akhirnya bosnya mengundurkan diri. Bagus lantas melanjutkan karir namun digeser ke perusahaan lain dan menjabat Kepala Seksi Departemen Perencanaan Korporasi.

Duduk di departemen baru, membuat Bagus tak nyaman dengan pekerjaannya. Penilaian pribadi merasa situasi kerja tidak sreg di hati. Setelah memikirkan dengan serius, akhirnya Bagus memutuskan untuk mengundurkan diri, dengan maksud pulang ke kampung halamannya di Surabaya.

Pada 2003, Bagus juga sempat memperoleh kesempatan untuk wawancara dengan mendiang Angki Camaro, pentolan HM Sampoerna. Keyakinannya semakin bulat untuk melanjutkan karirnya di tanah kelahirannya.

Sebelum sepakat dengan HM Sampoerna, Bagus berjumpa dengan bos lamanya di Jakarta. Kala itu, mantan atasannya sedang meresmikan salah satu jaringan pemasaran Ford di Ibu Kota dan mengajak Bagus untuk berjumpa dengan Presiden Direktur PT Ford Motor Indonesia (FMI), Will Angove. Alasannya, Will lagi mencari kandidat pendampingnya di dalam manajemen merek biru.

"Tapi saya langsung jawab, saya nggak mau pak. Saya sudah pengalaman di Toyota, perusahaan otomotif terbesar di Indonesia, ngapain saya ke Ford. 'Ya sudah, kalau tidak mau, temani saya saja makan malam,'" celoteh Bagus.

Sampai akhirnya makan malam terjadi, Bagus dikenalkan dengan sosok Will yang berdarah Australia. Pada pertemuan ini, Will banyak menanyakan pengalaman kerja Bagus selama di Toyota. Di pengujung jamuan makan, keesokan harinya, Will meminta Bagus untuk main ke kantornya di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Penawaran tiba-tiba

Merasa sudah tidak punya beban moral di perusahaan lamanya, karena sudah berstatus "resign", Bagus memenuhi permintaan Will untuk berkunjung. Ketika di dalam ruangan Will, pria berambut putih ini langsung menyodorkan kontrak, meminta Bagus untuk bergabung bersama FMI menjabat General Manager.

"Ini serius, tanya saya. Pas lihat kontraknya, gede juga (gajinya) ya. Tapi, otak pedagang saya jalan juga, jangan pernah terima apapun pada tawaran pertama," tukas Bagus.

Di dalam benak Bagus, tawaran gaji yang disodorkan Will sudah sangat besar nilainya. Sulit ditolak. Tapi, dengan nada agak datar, Bagus mencoba menawar, dengan alasan mobil pribadinya sudah dijual karena niat pindah ke Surabaya.

"'Tapi, nanti ada COP (car ownership program)' kata Will. Saya jawab, kalau COP nanti ada potongan, gajinya jadi tidak segini. 'Oh itu, apa lagi pertimbangan kamu?' Sementara itu saja yang ada dipikiran, tidak sempat bikin daftar, tapi setidaknya satu tambahan muncul," cerita Bagus.

Tak lama berselang, Will menarik kembali kontrak yang disodorkan dan meminta waktu untuk menyusun ulang. Hasilnya, permintaan Bagus dipenuhi, nilai cicilan kredit COP yang harus ditanggung ditambahkan jumlahnya ke gaji, sehingga nilainya tidak berkurang dari tawaran sebelumnya.

"Karena sudah dipenuhi, harus konsekuen, akhirnya saya tandatangan. Sebenarnya tanpa ada COP juga sudah di luar ekspektasi saya gajinya. Pas pulang, langsung bilang ke istri, mengatakan kita tidak jadi pulang ke Surabaya. Istri agak senewen juga karena sangat menantikan kembali tinggal lagi di Surabaya, bisa bertemu keluarga besar. Tapi, begitu melihat gajinya, oh ya nggak apa-apa kalau segini," kelakar Bagus.

Lembaran baru

Mulai bekerja di Ford, Bagus merasakan atmosfer yang berbeda dibandingkan perusahaan sebelumnya. Ayah dua anak ini hanya mengandalkan dua anak buah, yakni John Saragih dan Bambang Priandoyo. Meski minim, target pertama Bagus adalah menciptakan kinerja positif, menjawab tantangan, bagaimana bisa kompetitif dengan merek-merek lain yang ada di pasar.

Di Toyota, Bagus sudah terbiasa dengan jumlah tenaga kerja 10 kali lipat dibandingkan Ford, sehingga setiap langkah strategi yang dilakukan wajib lebih efektif, lebih cepat, dan aksi.

"Orang FMI itu cuma tiga, tapi gebrakan yang kami lakukan dengan peluncuran Everest (SUV), tanpa departemen humas, kami merangkap semua lah. Akhirnya penjualan terus membaik, pada 2004 atau 2005 peringkat kami tembus 10 besar nasional," beber Bagus. Ketika Bagus masuk di Ford (2003), peringkat Ford masih bercokol di level 14.

Salah satu hal yang paling dinikmati Bagus bekerja di FMI, perusahaan ini sangat peduli akan pengembangan karir karyawannya. Ketika sudah menjalani karir dengan baik, Bagus lantas mendapat promosi, ditawarkan menjadi Direktur Pemasaran dan Penjualan di FMI.

Tapi, cita-cita Bagus bukan secetek itu. Bagus merasa mau memberikan kontribusi lebih besar terhadap perusahaan. Melihat latar belakang Ford sebagai perusahaan global, Bagus menyatakan mau mengetahui lingkup bisnis dalam skala lebih besar. "Intinya, saya mau kerja di luar negeri lagi," seloroh Bagus.

Tiga kali gagal

Pada 2006, tawaran bekerja di luar negeri datang menjabat sebagai Direktur Penjualan dan Pemasaran di Malaysia. Gembira mendapat kabar positif, Bagus langsung menyampaikan ini pada istrinya dan mendapat sambutan hangat. Sayang, tak lama berselang, rencana ini batal terlaksana.

Setahun kemudian, awal 2007, ditanya atasan apakah masih berminat untuk bekerja di luar negeri dengan jabatan sama di Filipina. Bagus menjawab dengan pasti, siap. Kembali, rencana ini batal lagi. Pada April 2007, ada informasi tawaran bekerja di Thailand, tetapi karena pengalaman sebelumnya, Bagus agak pesimistis. Ternyata benar, tawaran itu kembali pupus.

Sampai akhirnya, Juni 2007, Bagus menerima telepon dari kantor regional Ford menyatakan akan ditempatkan di kantor dengan lingkup bisnis regional, Asia Pasific. Lokasi kantornya di Bangkok, Thailand. Akhirnya, tawaran terakhir ini terlaksana.

Di kantor baru, Bagus bekerja di bagian Marketing Communication Services. "Sebenarnya saya tidak tahu kerjanya ngapain, tapi ya sudah jalan saja dulu," jelas Bagus.

Bekerja di kantor regional, Bagus mengalami masa adaptasi yang harus dilalui, terutama masalah faktor bahasa yang digunakan. Hampir setiap hari, Bagus harus menghadapi rapat jarak jauh via telepon menggunakan bahasa Inggris. Meskipun cukup mumpuni berbahasa Inggris, tetapi pembicaraan sehari-hari membuatnya harus lebih membiasakan diri.

"Saya stress juga, mereka agak kurang toleransi kalau kurang lancar bahasa Inggris. Tapi, saya tidak kurang akal. Meskipun mereka ngomongnya cepat-cepat, saya coba tangkap inti-inti dari pembicaraan, dirangkum, kemudian di email orang yang menyampaikan tadi. Tadi, kamu ngomong begini, begini, konfirmasi, jadi kalau begitu, begini saja, benar atau tidak? 'Oh, tidak. Maksud saya begini, begini,' jadi saya tidak salah tangkap. Tapi, lama-lama telinga saya terbiasa juga jadi tak perlu buat rangkuman lagi," cerita Bagus.

Bagus membangun karirnya di kantor ragional Bangkok, Thailand selama dua tahun. Setelah itu, dipindahkan ke Shanghai, China sebagai Small Car Launch Manager, selama dua tahun juga.

Pulang Indonesia

Mengaku menikmati bekerja di luar negeri, tapi ada yang mengganjal dihati Bagus selama menjalankan aktivitasnya jauh dari kampung halaman. Dalam empat tahun karirnya di Bangkok dan Shanghai, kedua anaknya . Larasati dan Suryawan harus menempuh pendidikan formal di sekolah internasional. Artinya, semua kebiasaan yang tertanam di anak-anaknya adalah budaya barat.

"Bahkan, mereka tidak ada yang bisa bahasa Indonesia, padahal setiap hari saya selalu bicara Indonesia kalau di rumah. Benak saya, nanti anak-anak saya gimana ya. Wajah-wajah Jawa begini tapi nggak bisa bahasa Indonesia. Mereka bisa mendengar dan paham, tetapi tidak bisa bicara, bahaya ini," cetus Bagus.

Selain itu, kekhawatiran Bagus semakin besar, karena anak-anaknya tidak mengenal adat istiadat, perilaku, sopan santun khas Indonesia. Perilaku kedua buah hatinya lebih mirip anak bule. "Saya pikir, putri sudah SMP, nanti suatu saat akan jadi menantu orang. Belum tentu mantunya bule, kalau orang Jawa bagaimana mertuanya. Di lihat cantik, pintar, tapi kurang ajar, masa nggak punya tata krama. Saya terbebani oleh pemikiran ini, akhirnya saya minta pulang ke Indonesia," beber Bagus.

Dengan alasan keluarga, Bagus lantas melayangkan surat resmi untuk dipindah tugaskan kembali ke Tanah Air dengan janji tidak akan berpaling dari Ford. Setelah proses, akhirnya Desember 2010 mendapat kepastikan harus pulang Januari 2011.

Saat itu, FMI tengah kehilangan sosok dipucuk pimpinannya. Direktur Pemasaran sebelumnya mengundurkan diri, sedangkan Will Angove masuk masa purna bakti. "Saya diproyeksikan menggantikan posisinya Will. Jadi, ketika balik saya menjabat dulu sebagai Direktur Pemasaran dan Penjualan, sampai September 2011, resmi menggantikan posisi Will, jadi Managing Director," cerita Bagus.

Tantangan baru

Ketika kembali ke Jakarta dan menjabat sebagai Direktur Pemasaran dan Penjualan, Bagus merasa tidak ada tantangan baru pada posisinya. Dengan segudang pengalaman yang dimilikinya di luar negeri, pekerjaan itu bisa dilaluinya tanpa harus bekerja keras. Tapi, begitu resmi menjabat sebagai Managing Director, Bagus baru merasakan tantangan dan dunia baru.

"Menggantikan Will, saya harus memikirkan perusahaan dalam semua hal, mulai dari motivasi karyawan, margin perusahaan, keuntungan, rugi, servis, aspek regulasi, pokoknya banyak sekali. Kalau marketing kan jualan saja, kalau jabatan ini berbeda, jadi ini tahap penggemblengan kedua dalam hidup saya," beber Bagus.

Ketika kembali ke Jakarta, Bagus langsung membeli rumah di bilangan Cibubur dan berkantor di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Tapi, setiap hari, Bagus harus menempuh lama perjalanan hingga dua setengah jam, artinya bolak-balik sampai lima jam. Berpegang teguh pada moto hidupnya, "Kalau Kamu mau, kamu harus bayar harganya." Maka Bagus memutuskan untuk pindah ke Jalan Haji Muhi, lokasinya berdekatan dengan kantor.

"Istri sempat emosi juga, baru juga mau mulai tinggal di Cibubur, eh sudah harus pindah lagi. Tapi, ini konsekuensi yang harus saya ambil, apa yang kamu mau harus rela kamu bayar, akhirnya saya pindah," kenang Bagus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau