Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Matinya Anjir, Matinya Peradaban Sungai

Kompas.com - 14/02/2009, 05:39 WIB

Sebuah perahu kayu melaju sendirian di tengah kanal. Kapal-kapal kayu lain dibiarkan tertambat di tepian, tak jauh dari dermaga kayu ulin yang masih kokoh namun sepi. Tak seorang pun penumpang menunggu di dermaga itu.

Pernah menjadi urat nadi transportasi yang menghubungkan Banjarmasin (Kalimantan Selatan) ke Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Terusan Anjir Serapat kini menjadi terusan sepi menuju mati.

Padahal, melalui terusan ini, Juli 1957, Soekarno bertolak dari Banjarmasin menuju jantung Borneo. Perjalanan Soekarno dilakukan melalui Anjir Serapat yang menghubungkan Sungai Barito ke Sungai Kuala Kapuas, dilanjutkan melalui Anjir Kelampan menembus Sungai Kahayan.

Soekarno lantas menghulu Sungai Kahayan ke arah Pahandut, kota Dayak yang oleh presiden pertama Indonesia itu didesain sebagai ibu kota negara masa depan dengan nama Palangkaraya.

Terusan Serapat, dengan lebar 30 meter dan panjang 28 kilometer, dibuat pada era W Broers, penguasa tertinggi Belanda di Kalsel tahun 1880-1890, dengan memanfaatkan kemampuan tradisional orang Banjar. Dengan alat yang disebut sundak, papan tipis dari kayu ulin, orang Banjar membuat kanal-kanal.

Prof Dr HJ Schophuys, ahli hidrologi asal Belanda, di Kompas edisi 7 November 1969, menyebutkan, jauh sebelum pembuatan Anjir Serapat, masyarakat Banjar telah membuat banyak kanal untuk kepentingan transportasi dan pertanian pasang-surut.

”Mereka mampu membuat saluran air sepanjang puluhan kilometer hanya dengan tangan. Saya meniru cara itu,” tulis Schophuys, yang pernah menjadi konsultan pembangunan wilayah Kalimantan.

Sungai, kanal, dan perahu adalah napas hidup orang Kalimantan sejak beratus tahun silam, seperti tertulis dalam catatan perjalanan Anton W Niewenhuis yang melakukan perjalanan dari Pontianak ke Samarinda pada tahun 1894 dan Carl Lumholtz pada tahun 1913 dan 1917.

Tinggal kenangan

Kenangan tentang kejayaan bus air yang melayari sungai-sungai di Kalimantan masih lekat di ingatan Notsen Walis (70), pemilik kapal Berkat Makmur. Lelaki asal Desa Pangkuh, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, ini berkisah, hingga tahun 1980-an masih ada puluhan kapal angkutan yang hilir mudik di Sungai Kahayan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com