Nusa Dua, Kompas.com – Nissan Motor Company merupakan salah satu produsen mobil asal Jepang yang pertama menjual mobil listrik murni alias battery electric vehicle (BEV) secara massal di dunia. Model andalannya, tentu saja Nissan Leaf.
Leaf pertama kali meluncur ke pasar Amerika Serikat dan Jepang mulai Desember 2010 dan saat ini sudah masuk generasi kedua yang dijual sejak Oktober 2017. Hatchback listrik lima penumpang ini, ternyata tidak terlalu laris penjualannya, bahkan di negara asalnya sendiri, Jepang.
Padahal, Jepang merupakan negara maju dengan level pendapatan GDP perkapita 39.285 dollar AS, sedangkan Indonesia baru 4.356 dollar AS. Artinya, dari segi daya beli tentu saja mobil listrik termewah sekalipun bisa laris di Jepang, meksipun yang terjadi adalah sebaliknya.
Cerita itu keluar langsung dari penjelasan Regional Vice President Nissan ASEAN Isao Sekiguchi di Nusa Dua, Bali, Rabu (27/7/2022).
Isao mengatakan, ada empat faktor yang bisa menyebabkan mobil listrik laku di pasar suatu negara. Keempatnya saling berhubungan dan wajib dilakukan, jika memang suatu negara ingin terjadi pergeseran pasar dari mobil konvensional menjadi BEV.
Faktor pertama, adalah pentingnya meningkatkan pemahaman dan pengetahuan terhadap mobil listrik. Semakin banyak warga satu negara paham segala sesuatu soal mobil listrik, maka penjualan di pasar akan semakin besar.
Kedua, terkait dengan akses infrastruktur berupa fasiliitas Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang mudah diakses konsumen. Meskipun, faktor kedua ini bukan menjadi alasan utama mengapa penjualan mobil listrik di Jepang tidak kunjung tumbuh.
“Di Jepang saat ini terdapat 30.000 SPKLU dan jumlah ini lebih banyak dari SPBU. Tapi pangsa pasar mobil listrik, masih 1 persen terhadap total industri,” ucap Isao.
Mengutip Nikkei Asia, sepanjang 2021 total mobil listrik yang berhasil terjual di Jepang, sekitar 20.000 unit saja. Padahal, total penjualan mobil di Jepang pada periode yang sama tercatat 3,68 juta unit. Artinya, porsi penjualan mobil listrik di Jepang Cuma 0,54 persen saja.
Ketiga, insentif yang diberikan pemerintah untuk mendorong konsumen beralih menggunakan mobil listrik dari mesin konvensional.
Menurut Isao, Jepang menggelontorkan insentif berupa subsidi pebelian mobil listrik sekitar 10.000 dollar AS per unit. Faktanya, meskipun insentif bisa membantu mendongkrak penjualan mobil listrik, tetapi tidak berlaku di Jepang sekalipun.
Keempat, model mobil listrik yang pas untuk pasar yang tepat.
Nissan sendiri sudah mulai jualan Leaf generasi kedua di Indonesia sejak Agustus 2021 lewat mekanisme spot order alias inden dahulu. Data Gaikindo mencatat, sepanjang 2021 saja Nissan baru berhasil menjual Leaf secara wholesale 42 unit saja.
Isao melanjutkan, keempat faktor ini akan mampu mendorong percepatan penjualan mobil listrik pada suatu negara. Kesuksesan juga sangat tergantung dari kecepatan masing-masing faktor bisa punya pengaruh besar terhadap minat beli konsumen.
Dengan menghadirkan berbagai pilhan teknologi, mulai dari hybrid, PHEV, BEV, hingga hydrogen fuel cell, maka akan menciptakan opsi lebih beragam bagi masyarakat. Pilihan model yang dijual pada segmen jenis kendaraan tertentu juga jadi pengaruh.
“Jangan pernah lupakan, pada akhirnya konsumen lah yang akan memilih (mobil listrik),” ucap Isao.
Penjualan global Nissan Leaf sejak peluncuran perdana sekitar 577.000 unit. Porsi pasar terbesar Leaf justru terdapat di Eropa dengan sumbangan 208.000 unit, kemudian disusul 165.000 unit di AS, dan terakhir 157.000 unit di Jepang.
https://otomotif.kompas.com/read/2022/07/28/094200715/cerita-sulitnya-nissan-jualan-mobil-listrik-di-jepang