JAKARTA, KOMPAS.com - Sektor distribusi logistik jadi salah satu yang menerima dampak parah akibat pandemi Covid-19. Usai mengalami masa-masa sulit sejak penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di 2020, ternyata kondisi belum sepenuhnya pulih di tahun berikutnya.
Pada 2021, perusahaan angkutan barang mulai kehabisan tenaga untuk bangkit, meski perekonomian nasional diklaim mulai tumbuh ke arah yang positif.
Bambang Widjanarko, Wakil Ketua Aptrindo Jateng & DIY, mengungkapkan, pandemi Covid-19 sudah terlanjur mengakibatkan lesunya aktivitas perekonomian nasional selama lebih dari satu tahun. Akibatnya, pengguna jasa angkutan barang menekan ongkos angkut hingga titik paling rendah.
"Banyak pengusaha truk berpikir berapa pun ongkosnya akan diangkut daripada tidak ada muatan sama sekali demi menghidupi perusahaan dan karyawannya. Hal ini jadi salah satu faktor rusaknya struktur ongkos muat sejak awal pandemi," ucap Bambang kepada Kompas.com, Jumat (14/1/2022).
Ia menuturkan, tarif yang ditawar oleh pengguna jasa angkutan barang hanya cukup untuk menjalankan operasional termasuk penggajian karyawan secara pas-pasan.
Padahal, pengusaha truk turut harus berhadapan dengan kenaikan berbagai harga suku cadang truk, pelumas, hingga ban selama pandemi Covid-19. Bambang menyebut, kenaikan harga berbagai kebutuhan perawatan armada truk mencapai rata-rata 20 persen.
"Kami juga harus berhadapan dengan harga sparepart truk, oli-oli, dan juga ban yang naik selama 1,5 tahun ini, dengan kenaikan harga bisa mencapai 20 persen," kata ia melanjutkan.
Sementara itu, pengusaha truk tidak memiliki dasar penawaran yang kuat terhadap negosiasi ongkos angkut muatan. Pasalnya, ongkos angkut muatan baru bisa dinaikkan jika ada kenaikan harga biosolar sebagai bahan bakar utama armada angkutan barang.
"Vendor (pengguna jasa angkutan barang) umumnya tidak peduli dengan kenaikan harga sparepart, oli, ban, untuk perawatan truk. Karena dasar argumen mereka untuk menawar ongkos angkut muatan adalah harga biosolar. Selama (harga) biosolar tidak naik, vendor tetap bertahan dengan ongkos angkut yang murah," ujar Bambang.
Padahal, penggantian sparepart, pelumas, hingga ban truk dengan kualitas yang baik bertujuan demi keamanan dan keselamatan selama proses distribusi barang. Terlebih, kecelakaan truk yang terjadi di sepanjang 2021 umum diakibatkan kurangnya perawatan dan pemakaian suku cadang berkualitas rendah.
"Pengusaha truk hanya bisa mengikuti standar ongkos angkut selama masa pandemi ini, demi bisa tetap melakukan aktivitas angkut muatan dan tidak ada truk yang menganggur. Mengingat armada yang dimiliki belum 100 persen berjalan," kata Bambang.
Bambang mengkhawatirkan, pengguna jasa angkutan barang akan terlanjur nyaman dengan standar ongkos angkut muatan selama masa pandemi. Hal ini bisa berdampak pada sulitnya sektor distribusi logistik untuk bangkit kembali.
https://otomotif.kompas.com/read/2022/01/15/102200815/bisnis-angkutan-barang-2021-ongkos-sempat-capai-titik-terendah