JAKARTA, KOMPAS.com – PT Transportasi Jakarta (TransJakarta) memiliki rencana mengoperasikan 100 bus listrik mulai 2021. Sejak pertengahan 2020, operator transportasi massal Ibu Kota ini sudah menguji coba komersial bus listrik merek BYD.
Saat itu, bus listrik BYD diuji coba pada rute TransJakarta selama tiga bulan untuk mengangkut penumpang. Berdasarkan evaluasi, bus BYD berhasil melewati uji coba tersebut dan bisa digunakan sebagai kendaraan operasional TransJakarta.
Tapi, apakah benar biaya operasional bus listrik lebih murah ketimbang konvensional yang masih mengonsumsi solar?
Direktur Utama PT TransJakarta Sardjono Jhony Tjitrokusumo mengatakan, sekarang ini, sebelum bus listrik masuk ke E-Katalog LKPP sedang dihitung berapa biaya operasional yang dihabiskan. Perhitungan dilakukan dengan membandingkan pengeluaran rupiah per kilometer dari bus listrik ini.
“Kalau dari apa yang kita lihat, perbedaan harga bus listrik dengan yang biasa, lebih mahal 25 persen sampai 40 persen,” ucap Jhony kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Jhony menjelaskan, biaya operasional yang dikeluarkan TransJakarta, tergantung dari investasi awal dari operator. Misalnya, harga bus listrik relatif lebih mahal dari konvensional.
Artinya, jika periode return of investment disamakan dengan bus solar, tentu bus listrik lebih mahal.
“Oleh sebab itu, kita minta return of investment bus listrik diperpanjang sampai 10 tahun. Konsekuensinya, nanti operasionalnya tentu lebih dari 10 tahun,” kata Jhony.
Jika diperpanjang, baru terlihat seberapa ekonomis biaya operasional dari bus listrik dibanding bus solar. Jika waktu hanya sebentar, biaya operasionalnya tentu lebih mahal karena untuk unit bus listrik bisa tiga kali lipat lebih mahal dibanding bus solar.
https://otomotif.kompas.com/read/2021/04/13/082200815/apakah-biaya-operasional-bus-listrik-dengan-konvensional-lebih-murah