JAKARTA, KOMPAS.com - Adanya aturan baru untuk transportasi umum yang diterbitkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, masih menyisahkan tanda tanya dan keresahan bagi pengusaha bus antarkota antar provinsi (AKAP).
Pasalnya, meskipun dalam Surat Edaran (SE) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pedoman dan Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Tansportasi Darat Pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Untuk Mencegah Penyebaran Covid-19, bus AKAP sudah boleh membawa penumpang hingga 70 persen. Tapi hal tersebut dirasa percuma bila regulasi tiap daerah berbeda.
Contohnya untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Dengan kebijakan yang masih mengharuskan masyarakat mengantongi Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) serta persyaratan lainnya, akan membuat calon penumpang mengurungkan niat untuk pergi atau datang ke Jakarta, yang berimbas pada sepinya penumpang.
"Jadi itu masalahnya, percuma ada aturan dari pusat tapi tiap daerah juga punya regulasi, karena tidak sinkron. Harusnya itu kan satu suara satu pintu, kalau begini, kami yang babak belur harus bagaimana," kata Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan, kepada Kompas.com, Rabu (10/6/2020).
Pria yang akrab disapa Sani itu juga mengatakan, baiknya harus ada solusi dari pemerintah mengenai aturan main yang jelas. Karena bila masing-masing wilayah punya kewenangan sendiri, maka usaha untuk mengerakan kembali roda bisnis di bidang transportasi darat tidak akan berjalan.
Dengan demikian, meski sudah ada kelonggaran yang diberikan Kemenhub untuk dapat mengisi dan membawa penumpang sampai 70 persen pada fase awal, akan sia-sia lantaran tidak ada demand atau penumpangnya.
"Pertanyaan besar kami ini seperti apa pengawasan dan penegakan hukumnya. Bila oleh Polri, apakah menjamin mengerti seperti yang dituangkan pada Permenhub 41 dan SE 11 itu, kalau oleh Dinas Perhubungan (Dishub) apakah mereka akan patuh pada aturan pusat atau justru ikut aturan dari daerah dan Peraturan Gubernur (Pergub) masing-masing wilayahnya," ucap Sani.
"Kondisi itu harus ditegaskan bagaimana di lapangannya, karena bila berbeda-beda ini akan menjadi bias dan bisa menimbulkan konflik. Bahkan bisa membuka peluang adanya praktik ilegal seperti kejadian pada larangan Lebaran kemarin," kata dia.
Senada dengan Sani, Anthony Steven Hambali pemilik PO Sumber Alam juga mengutarakan hal yang sama.
Bahkan menurut Anthony kondisi yang tidak jelas tersebut sudah mulai memunculkan transportasi ilegal di beberapa daerah.
"Jangan bicara soal naik tarif dulu, dengan aturan yang diberatkan dan berbeda-beda saja penumpangnya sepi. Percuma dikasih 70 persen tapi kondisinya seperti ini, belum lagi daerah-daerah masih tidak rata, ada yang zona merah dan lain sebagainya," ujar Anthony.
"Tapi imbas dari itu, karena sulit dan lain-lain, banyak timbul bus liar sekarang yang nekat membawa penumpang tanpa menghiraukan aturan yang berlaku. Ini sudah kejadian dan banyak sekali," kata dia.
https://otomotif.kompas.com/read/2020/06/11/074200315/aturan-tidak-sinkron-pengusaha-bus-bilang-percuma-ada-kelonggaran