JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menyambut baik larangan kendaraan overdimension overload (ODOL) di Jalan Tol Jakarta-Bandung yang akan diterapkan mulai Senin (9/3/2020) oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Namun, Aptrindo meminta Kemenhub serta instansi terkait untuk konsisten terkait program peberantasan ODOL yang molor hingga 2023. Terutama mengenai program perencanaan sebelum nantinya eksekusi pelarangan benar-benar diterapkan menyeluruh.
"Kami mendukung, tapi jujur kami minta pemerintah juga tegas, ada road map-nya. Dengan dimulainya larangan melintasi tol tidak menimbulkan efek lain yang justru memunculkan masalah baru. Contoh kasus seperti yang kejadian belakangan ini, sudah diberikan kelonggaran sampai 2021, sekarang malah minta ditunda lagi sampai 2023. Kami harap ada ketegasan," ucap Wakil Ketua Umum Aptrindo Kyatmaja Lookman, saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu (8/3/2020).
Kyatmaja menjelaskan, larangan melintas di tol sudah dibahas sejak lama. Namun, tidak dibarengi dengan penindakan dari regulasi yang sebenarnya sudah ada, contohnya keharusan untuk pengujian operasi layak jalan atau uji kir.
Menurut Kyatmaja, bisa dipastikan semua truk ODOL tak pernah melakukan uji kir yang menjadi syarat mutlak dan wajib dilakukan dua kali selama satu tahun. Pasalnya, bila dilakukan sesuai regulasi, sudah pasti tidak akan ada yang lulus.
Mirisnya lagi, kebanyakan truk ODOL justru digunakan oleh pemerintah untuk kendaraan proyek pembangunan, seperti infrastruktur jalan tol dan lain sebagainya.
Padahal, inisiasi awal pemberantas ODOL sendiri datang dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), yang waktu itu keberatan dengan peredaran ODOL karena merusak jalan sehingga menyebabkan kerusakan jalan sebesar Rp 43 triliun.
"Ini paling mudah disoroti, karena proyek pemerintah sendiri menggunakan itu (truk ODOL). Tidak hanya kendaraan proyek saja sebenarnya, kendaraan mixer atau truk molen yang dipakai itu semuanya overdimension, dengan begitu otomatis juga overload, artinya menyalahi aturan juga," kata Kyatmaja.
"Kalau didalami ini jadi hal yang ironis, PUPR yang menjadi inisiator awal justru menggunakan ODOL, harusnya kan memberikan contoh. Jadi harus dari internal dulu, PUPR memastikan diri bila semua proyek pemerintah terbebas dari penggunaan truk ODOL," kata dia.
Tak tepat sasaran
Tak hanya memberantas ODOL dari lingkaran pemerintah, soal keputusan pengecualian tujuh komoditas yang masih dibolehkan menggunakan truk ODOL untuk beroperasi atas permintaan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga dinilai cukup bias.
"Kalau kami komentari dua barang itu sebenarnya bukan termasuk barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Nah, akan membingungkan saat itu diberikan dispensasi kenapa justru beras malah tidak, harusnya kan justru sembako. Kami sendiri menilainya kurang tepat sasaran toleransinya," ucap Kyatmaja.
https://otomotif.kompas.com/read/2020/03/09/080200215/asosiasi-truk-sarankan-berantas-odol-mulai-dari-lingkungan-pemerintah