Di sini terdapat Monumen Jalesveva Jayamahe (Monjaya) yang diciptakan sebagai cerminan kalau Indonesia adalah Bangsa Bahari. Bentuknya berupa patung Perwira TNI Angkatan Laut lengkap dengan pedang kehormatan, berdiri tegak menatap ke arah laut dengan penuh keyakinan dan kesungguhan. Tinggi 30,6 meter ditopang gedung bundar empat lantai 30 meter. Pada bagian dinding gedung ini dibuat diorama sejarah kepahlawanan pejuang-pejuang bahari (TNI AL) sejak jaman pra revolusi sampai tahun 90-an.
Jaya di Laut
Nama Jalesveva Jayamahe sendiri diambil dari semboyan TNI AL yang artinya, “Di laut kita jaya”. Dibangun atas inisiatif Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana TNI Muhammad Arifin, di era 1990-an. Enam tahun kemudian monumen ini selesai dibangun dan diresmikan bertepatan dengan Hari Armada RI pada 5 Desember 1996 oleh Presiden Soeharto.
Monumen dirancang oleh seniman tersohor, Nyoman Nuarta. Biaya pembangunan dikabarkan menghabiskan dana sekitar Rp 27 milyar. Konon konstruksi bangunan membutuhkan lebih dari 3.000 ton tembaga untuk menopangnya.
Di dalam terdapat ruang auditorium untuk melihat beberapa film dokumenter pelatihan perang TNI Angkatan Laut, dengan durasi 20-30 menit. Setelah itu naik ke lantai 4, yang merupakan kaki monumen itu bersandar. Dari atas sini, pemandangan luar biasa, kita bisa melihat berbagai kapal perang milik TNI AL yang tengah bersandar di dermaga. Sesekali, ada juga kapal tongkang yang lewat sambil membunyikan terompet khas.
KRI Dipenogoro
Kedatangan tim Avanzanation Journey ke Jalesveva Jayamahe kali ini cukup beruntung, karena tak jauh di dermaga sebelah monumen tengah, KRI Diponegoro (365) kapal perang tercanggih yang dimiliki TNI Angkatan Laut saat ini, sedang bersandar. Kapal ini merupakan hasil pesanan TNI AL kepada galangan kapal Schelde, dari Belanda. Mulai beroperasi 2005, kapal ini bertugas sebagai kapal patroli dengan kemampuan anti-kapal permukaan, anti-kapal selam, dan anti-pesawat udara.
Nama Dipenogoro diambil dari salah satu pahlawan nasional indonesia, yang berjasa di Perang Jawa 1825-1830. Kapal ini dilengkapi dengan torpedo A 244S Mode 3/MU 90, dengan dua peluncur tipe B515, ditambah Meriam, dan Peluru Kendali. Tak mau kehilangan kesempatan berharga, rombongan menyempatkan diri untuk mengabadikan momen ini.
Jembatan Merah
Lokasi bersejarah kedua yang didatangi tim Avanzanation Journey adalah Jembatan Merah, di Surabaya Utara, tepatnya menghubungkan antara Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun. Pemusik kroncong , Almarhum Gesang bahkan mengabadikan "Jembatan Merah" sebagai judul lagu yang legendaris sampai sekarang. Mendeskripsikan seperti apa jembatan ini dulu.
Sejarah Jembatan Merah bermula ketika terjadi perjanjian antara Paku Buwono II dengan VOC, 11 November 1743, di mana Surabaya diserahkan ke tangan VOC (Belanda). Kemudian, penjajah kala itu mentransformasi kawasan ini sebagai jantung kota. Daerah sekitar, seperti Gubeng, Sawahan, Darmo dan Ketabang tumbuh pesat dan menjelma menjadi pusat pedagang Eropa.
Dulu, Jembatan Merah terbuat dari kayu. Namun karena telah beberapa kali dipugar, kini sudah diubah konstruksinya dari besi. Cat merah digunakan untuk menandai indentitasnya. Meski aliran airnya kini sudah keruh dan banyak sampah, beberapa bangunan tua di sisi-sisinya semakin memperkuat kesan kuno lokasi ini.