KOMPAS.com - Sebelum laga seri pertama F1 musim 2019 di Melbourne Australia, semua sudah memprediksi bahwa Williams akan jadi tim yang paling lemah. Bukan hanya di sisi teknis tetapi keharmonisan tim juga menjadi sumber masalah yang belum bisa diselelesaikan oleh sebuah tim yang mempunyai tradisi hebat di F1.
Paddy Lowe, Technical Director Williams yang juga salah satu pemegang saham, tiba-tiba mengambil cuti dengan alasan pribadi, seminggu sebelum gelaran musim 2019 dimulai. Padahal dia mempunyai rencana besar dalam riset dan pengembangan, bahkan isunya sampai mengorbankan Robert Kubica untuk bergabung di musim 2018 serta menerima Sergey Sirotkin yang didukung oleh investor dari Russia karena alasan “mahar”.
Baca juga: Mendadak F1
Masuk akal bila di posisi ini Williams harus merelakan prestasi dan tidak memilih pebalap yang menjanjikan untuk mempersiapan tim riset dan development sehingga dalam 2-3 tahun berikutnya mereka kembali kuat dengan merekrut engineer-engineer baru.
Tetapi siapa sangka hal itu justru membuat perpecahan internal, gejolak para engineer Williams yang sebagian besar masih pengikut Sir Patrick Head (Ex Engineering Director dan Co-Founder Williams), makin membuat Paddy Lowe tidak nyaman. Kendati demikian bukan hal yang mudah untuk Claire Williams (Deputy Principal Williams) untuk mendepak Lowe atas statusnya sebagai pemegang saham.
Baca juga: F1 dan Teknologi-teknologi Terlarang
Situasi sulit ini jelas mempengaruhi performa di balapan dan faktanya Williams masih ketinggalan 0.5 detik dibanding tim terlemah di atasnya saat GP Bahrain bahkan 1.5 detik di GP Australia. Berita terakhir saat Bahrain GP 2019, Sir Patrick Head diminta Claire Williams untuk memperbaiki situasi ini sebagai konsultan.
Dont expect too much
Berikutnya soal tim yang mempunyai tradisi tidak kalah hebat yaitu McLaren. Sejujurnya saya masih menempatkan McLaren sebagai tim terlemah berikutnya. Tetapi hasil yang dicapai di GP Bahrain kemarin bukan hanya membuat saya mulai ragu dengan prediksi saya di sisi teknis, tetapi juga membuat saya harus acungi jempol terhadap performa individual kedua pebalap nya. Setidaknya duo Carlos Sainz dan Lando Norris lebih terlihat bertarung dengan keterbatasannya dibanding Pierre Gasly di Red Bull.
Perubahan engine supplier dari Honda ke Renault memasuki tahun ke-2 dan wajar bila saya kategorikan “don’t expect too much” untuk hubungan keduanya di usia yang masih sangat dini. Mengingat banyak problem saat masih menggunakan mesin Honda yang bersumber pada kegagalan McLaren men-delivery paket yang mumpuni.
MGU-H Honda banyak dijadikan isu sentral problem di McLaren dan jika sebuah tim bermasalah dengan komponen tersebut maka kehilangan sampai 20 persen tenaga akan terjadi. Namun di paddock santer beredar bahwa McLaren gagal memaksimalkan pengaturan engine mode hingga ketahanan mesin tidak sesuai rencana awal Honda.
Secepat itukah James Key (Technical Director McLaren) yang sudah memahami dengan baik mesin Renault saat bertugas di Scuderia Toro Rosso, berkolaborasi dengan Pat Fry (Engineering Director McLaren) yang pasti paham betul membuat engine mode menjadi maksimal dalam membuat McLaren kembali membangun kejayaan.
Baca juga: Berjudi ala F1
Hal itu tentunya masih akan kita tunggu dalam seri-seri berikutnya, dan perlu diketahui bahwa regulasi 2019 lebih menonjolkan perubahan di sisi aero untuk menyongsong perubahan besar pada 2021. Yang jelas, Fernando Alonso berkomentar positif bahwa perubahan di semua sisi telah terjadi di McLaren saat menguji MCL34 “The Papaya Orange” di Bahrain minggu lalu.
Jalan yang benar
Satu lagi tim yang mempunyai tradisi hebat, bahkan paling hebat adalah Scuderia Ferrari, yang juga sedang berjuang kembali ke “jalan yang benar”. Saya boleh mengatakan seharusnya Ferrari sudah juara dunia lagi musim 2018. Kegagalan Ferrari bersumber pada keteledoran Vettel dan beberapa strategi tim yang tidak tepat.
Bahkan saat kalah di Australia 2019 - kebetulan pas nonton bareng teman-teman F1 Mania Surabaya - saya berkomentar bahwa Ferrari akan fight back di Bahrain, dan itu benar-benar terjadi. Kesalahan Vettel masih saya masukkan ke dalam keteledoran pebalap. Paling disayangkan tentunya kegagalan Charles Leclerc yang sudah memimpin jauh di depan hingga 11 lap sebelum finish, harus merelakan gelar juara seri kepada Lewis Hamilton. Bahkan disusul Vatteri Bottas akibat korsleting di rangkaian elektronik, sebuah kasus yang sangat jarang terjadi di Ferrari.
Berjuang
Tiga tim yang mempunyai tradisi hebat di F1 sedang berjuang untuk mendapatkan kembali kejayaannya dengan tahapan yang berbeda-beda. Mereka meninggalkan seri sirkuit dengan cuaca yang panas di Australia dan Bahrain dengan pengalaman yang berbeda.
Williams mempunyai pekerjaan rumah yang paling banyak, McLaren akan berusaha membuktikan bahwa mereka punya progress yang makin membaik. Begitu pula Ferrari dengan rasa penasaran yang tinggi ingin membuktikan bahwa mereka sudah mengalahkan Mercedes. Kali ini suhu yang sejuk di Shanghai akan menjadi tantangan awal serta aklitimasi deretan balapan dingin di Eropa. Sekaligus merupakan balapan ke-1000 dihitung sejak GP modern 1950 di Silverstone Inggris. Sebuah capaian yang luar biasa!
Mereka berjuang dengan tekanan tinggi, tinggal kita menikmati perjuangan keras mereka dengan santai sambil menyeruput secangkir kopi. Selamat menikmati perjuangan tim-tim yang mempunyai tradisi hebat F1 di musim 2019 .
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.