Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rizka S Aji

Pemerhati masalah industri otomotif tanah air. Pernah berkecimpung menjadi jurnalis otomotif selama 15 tahun. Penyunting buku “Kiprah Toyota Melayani Indonesia (Gramedia; 2004)’ ; 50 Tahun Astra (Gramedia). Penggiat blog sosial  www.seribuwajahindonesia.com. Penyuka fotografi hitam putih

kolom

Kendaraan Listrik dan Industri Otomotif Indonesia

Kompas.com - 02/06/2018, 09:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sesuai mandat pasal 6 huruf e jo pasal 14, UU No. 30 tahun 2002 terkait pelaksanaan tugas monitoring penyelenggaraan Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengirim surat ke Presiden Joko Widodo. Isinya: hasil focus group discussion KPK merkomendasikan agar pemerintah segera memberikan payung hukum dan insentif kendaraan listrik di Indonesia.

Dalam butir-butir surat yang dikirimkan KPK yang dikutip sejumlah media massa pada tanggal 19 Mei 2018 tersebut, menyebutkan; Pertama, Pemerintah perlu melakukan dukungan pendanaan riset, pengembangan dan inovasi yang memadai.

Kedua, adanya penyesuaian skema pajak dan tarif bea masuk yang sesuai dengan tahapan industri perintis nasional.

Butir ketiga, KPK merekomendasikan adanya penyederhanaan regulasi dan kebijakan agar sinergi BUMN bisa terwujud terutama untuk sektor energy, manufaktur dan Perguruan Tinggi.

Keempat, Pemerintah agar memberikan dukungan pemasaran produk melalui pengadaan barang pemerintah (Government Procurement) melalui skema e-catalogue.

Baca juga: Riset Mobil Listrik Toyota Libatkan Empat Kampus

Tenaga ahli

Mendapat ‘charge’ dari KPK, PT Pindad yang dikabarkan akan memproduksi kendaraan listrik menyambut baik surat ini.  Dukungan pengembangan mobil listrik untuk diproduksi di Tanah Air menggunakan tenaga ahli dalam negeri, semakin menguat dengan sambutan hangat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Sebagai satu-satunya perusahaan yang boleh menjual energy listrik, PLN tentu saja gembira, mengingat inilah pasar baru dalam meningkatkan konsumsi listrik nasional.

Atas dukungan itu, akankah hal ini menjadi lompatan bahwa Indonesia akhirnya mempunyai industri otomotif dengan merek dan dikembangkan oleh bangsa sendiri?

Sejarah Panjang Industri Otomotif Indonesia

Cita-cita memiliki industri otomotif sendiri, bukan hal baru.Ian Chalmers (Gramedia: 1996: hal 1) mencatat, tahun 1920 adalah awal industrialisasi otomotif di Indonesia. Ketika itu, General Motors membangun pabrik perakitan di kawasan Tanjung Priok, Batavia (Kini Jakarta Utara).

Pembangunan pabrik perakitan ini sebagai konsekuensi dari ekspansinya pabrikan otomotif Amerika Serikat itu di kawasan Asia.

Kala itu, Indonesia belumlah merdeka. Namun, pabrikan otomotif sudah menjadikan kawasan ini sebagai pasar potensial. Apalagi, transportasi merupakan hal penting yang diperlukan dalam pergerakan ekonomi.

Tak salah kiranya, ketika tahun 1949, setelah Indonesia lepas dari penjajahan Belanda, salah satu industri strategis yang dikembangkan adalah industri otomotif yaitu dengan didirikannya pabrik perakitan untuk kendaraan niaga yang dikerjakan oleh NV Indonesia Service Company (ISC).

Perlahan industri ini kemudian terus dikembangkan. Para pengusaha yang melakukan impor diberikan insentif khusus oleh pemerintah kala itu, untuk membuat perakitan di Indonesia.

Tim Independent Day Journey Toyota Kijang dan Avanza setelah kembali dari perjalanan tiga negaraOtomania Tim Independent Day Journey Toyota Kijang dan Avanza setelah kembali dari perjalanan tiga negara

Orde baru

Tetapi angin politik di tahun 1965 berubah. Setelah runtuhnya Orde Lama ke Orde Baru, berubah pula kebijakan industri otomotif nasional.

Para pengusaha otomotif  yang berafiliasi dengan penguasa lama, tak mendapatkan tempat di mata penguasa baru. Kelas bisnis berubah, akibat keputusan pemerintah Orde Baru yang memberikan ruang pada pemodal asing untuk langsung terjun di Indonesia.

Pro kontra kebijakan investasi sampai menimbulkan gejolak di dalam negeri. Salah satunya ketika Perdana Menteri Jepang kala itu, Kakuei Tanaka mendapat protes besar dari mahasiswa sebagai dampak derasnya modal asing sehingga menimbulkan huru-hara politik yang dikenal dengan peristiwa Lima Belas Januari 1974.

Saat itu, pabrikan-pabrikan otomotif dunia sudah berkolaborasi dengan pengusaha lokal. Antara lain, ada Toyota yang menggandeng William Soerjadjaja dengan Astra-nya.

Ada juga kelompok Ibnu Sutowo dan Sjanurbi Said yang menjadi agen Mitsubishi dengan PT Krama Yudha-nya.

Kolaborasi para pemilik modal dalam dan luar negeri inipula yang kemudian sedikit banyak mempengaruhi arah kebijakan industri mobil nasional. Tetapi hal ini pula yang mendorong penjualan mobil di Tanah Air tercatat sebagai yang terbesar di Asia Tenggara pada 1976 (Chalmers: 1996 hal 1).

Baca juga: Saat Agya-Ayla Lebih Dibanggakan daripada Mobil Listrik Nasional

Repelita

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau