Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sulit “Merdeka” di Era Kendaraan Listrik, Kecemasan Anak Bangsa

Kompas.com - 12/02/2018, 09:42 WIB
Ghulam Muhammad Nayazri,
Agung Kurniawan

Tim Redaksi

Jakarta, KOMPAS.com – Puluhan tahun, industri otomotif roda dua dan empat berteknologi konvensional dalam negeri, sudah jadi garapan merek asing. Berjuta dolar Amerika Serikat atau bahkan miliaran, menguap dari pasar Tanah Air kembali ke negara mereka masing-masing.

Selain pabrik, keringat buruh dan polusi, tak ada yang tersisa untuk anak bangsa sebagai pegangan masa depan. Dibutakan materi dan soal isi perut sehari-hari, sampai tak sadar kalau kita di Indonesia ini, juga perlu teknologi, ilmu manufaktur, sebagai bekal memapankan diri.

Iri, ketika melihat China yang proses alih teknologinya (know-how) sudah sangat berhasil, meski caranya sedikit kasar. Namun, apa ada cara yang lebih baik untuk melawan imperialisme baru lewat industri otomotif ini?

Baca juga : Era Kendaraan Listrik di Indonesia Jangan Sekedar Regulasi

Sudahlah, lewatkan soal masa-masa kendaraan konvensional yang sudah tak ada lagi celah dan tertinggal jauh. Kini era baru industri otomotif berkiblat ke arah elektrifikasi telah datang, meski berbeda-beda, semua baru saja memulai memahami dan mengaplikasi teknologinya.

Ini yang kemudian coba dikejar pemain dalam negeri, yang sudah trauma kehilangan pasar pada lembar kisah lama. Ratusan kampus jurusan teknik, peneliti dan ribuan engineer berdarah lokal yang menguasai teknologi kendaraan listrik (Gesits, Molina, Ezzy II, Evhero dll), hanya bisa berharap kepada Pemerintah.

Baca juga : Sedikit Cerita Kendaraan Listrik Nasional di 2017

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil saat memperkenalkan mobil listrik karya Institut Teknologi Nasional (Itenas), Rabu (15/11/2017). Mobil listrik itu diberi nama Evhero.KOMPAS.com/DENDI RAMDHANI Wali Kota Bandung Ridwan Kamil saat memperkenalkan mobil listrik karya Institut Teknologi Nasional (Itenas), Rabu (15/11/2017). Mobil listrik itu diberi nama Evhero.

Kekhawatiran

Saat ini memang regulasi kendaraan listrik dalam bentuk Peraturan Presiden sedang digodok, dan kabaranya draft final akan rampung dalam beberapa hari dan tinggal ditandatangani Joko Widodo. Namun, pada masa-masa ini kekhawatiran kemudian muncul.

Dari draft awal Perpres, yang kemudian didiskusikan bersama semua yang berkepentingan termasuk pemain dalam negeri, ada permintaan soal pembatasan pasar untuk pemain asing, demi memberikan prioritas untuk pemain asli lokal.

Usulanya, merek asing hanya diberi jatah mobil listrik di atas 60 Kw. Sementara untuk kendaraan listrik di bawah 60Kw tak bisa diganggu gugat dan hanya milik produsen dalam negeri dengan segala insentif yang diberikan.

Baca juga : Kendaraan Listrik Nasional Harus Hidup di Negeri Sendiri

Mobil listrik gagasan Dahlan Iskan, Tuxuci, mirip Bugatti Veyron.Donny Apriliananda Mobil listrik gagasan Dahlan Iskan, Tuxuci, mirip Bugatti Veyron.

Sedangkan untuk sepeda motor listrik, 15Kw ke bawah agar digarap anak bangsa, dan di atasnya baru sisakan kepada orang lain. Secara kasat mata, tentu lebih baik buang uang untuk anak sendiri, dibanding orang lain.

Kegundahan pemain lokal lainnya, di dalam Perpres juga menyinggung soal pemberian insentif bea masuk nol persen dan begitu juga pajak barang mewah, yang membuat produk kendaraan listrik asing bisa mudah masuk ke dalam negeri dan membanjiri pasar. Apa daya nantinya produk dalam negeri?

“Kami masih perjuangkan draft Perpres, agar pembatasan kendaraan listrik bermerek nasional pada 60 kw tetap tercantum di sana. Semoga di zaman Presiden Joko Widodo bangsa Indonesia sedikit merdeka di kendaraan listrik,” sepenggal ujaran dari cerita Sukotjo Herupramono, Ketua Umum Asosiasi Pengembangan Kendaraan Listrik Bermerek Nasional (Apklibernas) kepada KompasOtomotif, Minggu (11/2/2018).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau