Jakarta, KompasOtomotif – Ujian berat harus dihadapi Dyonisius Beti, Executive Vice President PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) saat dirinya baru bergabung puluhan tahun lalu. Meski langsung menjabat sebagai Direktur Pemasaran, saat itu Dyon, sapaan akrabnya, harus menghadapi krisis moneter 1998-1999 yang memukul mundur perusahaan.
Semangat muda yang dimiliknya mendorong untuk keluar dari polemik itu dan segera mengangkat perusahaan dari keterpurukan. Setelah mengambil keputusan untuk diam sementara waktu, beberapa langkah strategis juga dilakukan.
”Saat itu, setiap unit yang kita jual rugi Rp 2 juta. Semakin banyak jualan, semakin besar kerugian. Nggak jualan, rugi bisa ditekan, tapi dealer mati, konsumen tak terurus. Bagaimana jadinya? Suplai secukupnya saja supaya dealer bisa balik modal,” jelas Dyon.
Keputusan lain, Yamaha di bawah kendali Dyon saat itu menaikkan keuntungan dealer dua kali lipat. Istilah kasarnya, sudah perusahaan rugi, malah menaikkan untung pihak lain yang membuat perusahaan semakin rugi. Apa sebab?
”Kami ingin menjaga agar dealer tidak tutup. Sudah saya jelaskan, intinya memperhatikan konsumen agar tetap diperhatikan. Dengan langkah itu, kami berharap konsumen tidak lari, sementara merek tetap bertahan,” jelas Dyon.
Transisi
Melalui proses itu, posisi Yamaha mau tak mau turun di peringkat ketiga secara nasional. Belum pulih benar menjaga merek, masalah kembali datang. Saat itu, Yamaha terkenal dengan raja 2-tak. Mulai dari RX-King yang berkontribusi terhadap penjualan sampai 40 persen lebih, ditambah F1Z R yang sangat menyokong kelangsungan perusahaan.
Tiba-tiba, pemerintah mengeluarkan kebijakan pengurangan sepeda motor 2-tak. ”Apa nggak bangkrut kita?” celetuk Dyon sambil tertawa. ”Untungnya kami mendapat solusi dari Menteri Lingkungan Hidup saat itu, bahwa masih ada daerah luar Jawa yang bisa dirambah. Kami diberi tenggat transisi hingga dua tahun,” imbuh Dyon.
”Blue Ocean”
Dalam pemikirannya saat itu, belum ada pengganti saat 2-tak mati. Merek lain saat itu benar-benar menjadi raja 4-tak. Beberapa merek pun ikut meramaikan pasar tersebut. Mau tak mau, Yamaha juga harus menceburkan diri.
Di sinilah insting marketing Dyon mulai jalan. ”Harus ada blue ocean, sesuatu yang baru dan beda. Kalau mengikuti apa yang dilakukan kompetitor, berarti kita jadi follower. Waktu itu, kami membawa DNA Yamaha sebagai motor kencang, dan inilah kuncinya,” ungkap Dyon.
Karakter kencang Yamaha lalu dipertahankan dan dipindahkan dari sepeda motor 2-tak ke 4-tak. Sudah muncul dengan Crypton, Yamaha membuat seri baru yang menuangkan DNA sesungguhnya, yakni Jupiter Series. Model ini menjadi raja di kelasnya, yakni kategori bebek dengan harga middle up, diikuti lahirnya Jupiter Z dan Jupiter MX.
"R"
”Tapi itu belum cukup. Pasar paling besar ada di segmen bawah, yang dihuni Vega. Sedangkan waktu itu banyak motor China masuk. Bagaimana melawannya? Kita recycle lagi Vega menjadi Vega R degan strategi khusus,” terang Dyon.
Bersama-sama dengan Jupiter Series, Vega R sebagai sepeda motor generasi lanjutan harus dipertahankan agar kompetitif. Strateginya, cuma mengeluarkan satu warna, yakni hitam.
”Ada satu rahasia, huruf ’R’ sebenarnya bukan ’Racing’, tapi ’Reformasi’. Hahaha. Strategi satu warna agar murah, karena hitam jujur saja biaya produksinya lebih murah. Kebetulan saat itu banyak orang suka warna hitam. Coba kalau merah, bisa beda Rp 200 ribu,” ungkap Dyon.
Dengan ”reformasi” itu, harga sepeda motor Yamaha semakin terjangkau. Pangsa pasar pun mulai naik, bahkan hingga menguasai 40 persen. Vega R dan Jupiter berhasil, menggantikan pamor RX King yang turun habis.
Lalu, bagaimana Yamaha kembali menjadi mencetak sukses dengan model matik? Dyon masih menyimpan banyak cerita. BERSAMBUNG.
Kisah lain:
Melawan Takdir sebagai Anak Pedagang
Pengalaman Di-"bully" Gembleng Dyon Jadi Bos Yamaha
Kisah Berliku Bos Yamaha Saat Bertahan dalam Keterpurukan