Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Success Story Dyonisius Beti Executive Vice President YIMM

Kisah Berliku Bos Yamaha Saat Bertahan dalam Keterpurukan

Kompas.com - 08/04/2015, 12:00 WIB
Donny Apriliananda

Penulis

Jakarta, KompasOtomotif – Dyonisius Beti termasuk orang sukses di masa muda. Saat usianya baru menginjak 34 tahun, anak pedagang karet dari Jambi itu langsung dipercaya menjabat sebagai Direktur Pemasaran di Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM). Dyon dipercaya mampu mewakili keinginan Yamaha Jepang untuk memasukkan ide-ide segar dari anak muda lokal.

Namun sayang, saat semangatnya menggebu untuk memajukan perusahaan, situasi ekonomi di Indonesia turun drastis akibat gejolak pada 1998 sampai dilanda krisis moneter. Nilai tukar rupiah terjun bebas, dari Rp 2.500 per 1 dollar AS sampai puncaknya mencapai Rp 17.000 per 1 dollar AS. Bunga bank pun naik menjadi 5 persen.

”Saya bergabung tahun 1996, tau-tau krisis mulai 1998-1999. Permintaan turun jauh, dari 1,7 juta unit menjadi hanya 400.000 unit Dollar atau tinggal 20 persennya saja. Setiap unit yang kami jual saat itu rugi, perusahaan pun kolaps,” kenang Dyon.

Dua kunci

Pada masa ini, ada dua hal yang dia ingat. Baginya, perusahaan boleh rugi dan produksi bisa minim. Tapi, pabrik tak boleh tutup. Lulusan Teknik Sipil ITB itu berpendapat, sekali tutup, kepercayaan masyarakat hilang.

”Karena masyarakat sudah beli jutaan produk Yamaha. Kalau dealer gak bisa suplai, bagaimana mereka lanjutkan bisnis? Mau servis gimana? Fokusnya saat itu, pikirkan konsumen. Mati hidup kita tergantung konsumen. Kalau kita khianati, besok-besok balik lagi udah nggak percaya. Itulah kenapa, kami jaga, tetep produksi dan terbatas, tapi aftersales harus jalan,” beber Dyon.

Hal lain yang dianggap penting saat itu adalah menjaga merek, karena sudah dibangun dengan susah payah. Brand atau merek dianggap sangat mahal, namun tak terlihat wujudnya. Sesuatu yang baru meski pemodalnya kuat, belum tentu bisa berjalan mulus.

KompasOtomotif-donny apriliananda Dyonisius Beti harus melalui perjalanan berliku sebelum memimpin Yamaha Indonesia.

”Flashback”

Semua teori itu ternyata tak didapatnya secara otodidak. Dyon lantas flashback, mengenang saat dirinya menimba ilmu pemasaran dengan kuliah S-2 sebagai angkatan pertama Magister Management (MM) Universitas Indonesia (UI), tahun 1989-1990, saat dirinya pertama diterima kerja seusai lulus dari ITB.

Baginya, bekal dari Teknik Sipil tak cukup. ”Saya melihat kekurangan saya. Teknik analisa lebih unggul, tapi kepekaan bisnis jelas kurang. Ini harus diasah dan digabung,” ujar Dyon.

Selama kuliah S-2 sembari kerja, Dyon ditempa masa sulit. Dirinya harus pandai-pandai mengatur waktu untuk menyelesaikan tugas kuliah hingga menyiapkan diri kembali segar saat ngantor. Dua tahun ”sengsara”, akhirnya lulus juga.

Diam adalah keputusan

Kembali ke rumitnya permasalahan perusahaan saat itu, Dyon mendapatkan pelajaran baru yang tak pernah dia duga. Di saat mengalami masa-masa paling kritikal, penjualan turun dan perusahaan rugi, semangat muda Dyon sangat berapi untuk segera keluar dari ”lingkaran panas”.

Dia tak tahan karena penjualan begitu kecil dan berusaha mencari jalan keluar. Semangat muda itu pun akhirnya diredam oleh nasihat dari orang Jepang yang saat itu menjadi senior di Yamaha.

”Saya belajar dari senior saya, Mr Nakajima. Suatu saat dia meminta saya ikut main golf sembari mencari jalan keluar. Di sana saya hanya menemaninya, karena tidak bisa. Setelah selesai, ya sudah, itu saja. Lalu apa kesimpulannya? Saya tidak mengerti,” cerita Dyon lantas tertawa.

Ternyata, dari situ Dyon belajar bahwa tidak melakukan apa-apa juga termasuk keputusan penting sebagai jalan keluar. ”Saat krismon dan susah itu, produksi banyak rugi, jual lebih banyak enggak bisa, daya beli susah. You harus tunggu,” ucap Dyon.

Kadang-kadang, lanjutnya, kita tidak tahan dalam suatu tekanan. Saat terjepit, banyak manusia berontak. Namun, analisa Mr Nakajima saat itu yang diserap Dyon, kondisi negara yang kacau, Presiden Soeharto belum clear turun atau bertahan, decision-nya adalah stay, diam, atau menunggu.

Lalu, keputusan apa lagi yang diambil Dyon untuk membangkitkan Yamaha dari keterpurukan? Tunggu kisah selanjutnya.

Kisah Sebelumnya:
Melawan Takdir sebagai Anak Pedagang
Pengalaman Di-"bully" Gembleng Dyon Jadi Bos Yamaha

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau