Kehidupan ini sangat indah. Tak semua perjalanan hidup manusia berjalan dengan mulus. Tentu banyak rintangan dan hambatan dalam meraihnya. Kuncinya adalah kesabaran, keteguhan hati, memiliki prinsip yang kuat, jujur, apa adanya, dan selalu melakukan inovasi. Di balik kesuksesan seseorang, ada kisah-kisah mengharukan dan menyedihkan. Semua itu adalah proses yang harus dilalui. Kompas.com menurunkan serial artikel "Success Story" tentang perjalanan tokoh yang inspiratif. Semoga pembaca bisa memetik makna di balik kisah.
Jakarta, KompasOtomotif – Masa kecil yang terbiasa di lingkungan pedagang tak mematahkan Dyonisius Beti, Executive Vice President PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing untuk tak mengikuti anjuran orang tua melanjutkan profesi sebagai pedagang karet. [Baca: Melawan Takdir Sebagai Anak Pedagang]. Dia memilih untuk melanjutkan kuliah di ITB sebagai mahasiswa Teknik Sipil angkatan 1981.
Pria yang akrab disapa Dyon itu pun melanjutkan kisah, Bekal saat itu untuk merantau ke Jakarta hanya Rp 150 ribu. Supaya irit biaya, Dyon menumpang truk kenalan orang tuanya dari Jambi hingga Jakarta. Bekal itu untuk modal awal, makan sederhana, hingga mencari rumah kos yang dekat dengan kampus.
Tak bisa lepas dari ingatannya, banyak kenangan saat pertama kali menjadi mahasiswa. Kamar kos ukuran 2x2 meter acap tergenang saat hujan deras. Dipan ranjang pun terbuat dari kayu bekas kontainer dengan kualitas seadanya.
Untuk makan, Dyon harus ngirit. Untung, di daerah kos, banyak penjual makanan murah khas mahasiswa. ”Rp 1.000 bisa ambil nasi sepuasnya, lauk satu. Kalau akhir bulan, saya hanya makan buah pepaya, Rp 150 sudah besar sekali bisa dimakan untuk dua hari,” kenang Dyon.
Di-bully
Perjuangan lain adalah harus menghadapi bully dari teman-teman dan seniornya. ”Saya adalah etnis keturunan Tionghoa pertama yang masuk ITB. Senior-senior bilang, ’kenapa kamu China nyasar di sini?’, padahal banyak kampus lain seperti Prahyangan (Unpar) atau Trisakti. Pada akhirnya senior-senior yang nge-bully itu nggak lulus-lulus,” cerita Dyon sambil tertawa.
Dari semua pengalaman itu, Dyon menganggapnya sebagai penggemblengan mental untuk bertahan hidup merantau. Semuanya hanyalah proses untuk membuat dirinya semakin siap belajar. Akhirnya, dalam lima tahun, Dyon sanggup menyelesaikan kuliahnya.
”Pengalaman ini, kalau diputar kembali adalah semangat luar biasa. Berbeda jika orang memulai dari keluarga kaya berhasil, semua menjadi mudah dengan fasilitas yang tersedia. Berangkat dari susah, perjuangannya beda,” tegas Dyon.
Usai wisuda pada Oktober 1986, Dyon langsung diterima kerja. Perusahaan pertama yang menerimanya bergerak di bidang teknik sipil, sesuai disiplin ilmu yang dianutnya. Dyon mulai terlibat dalam perawatan gedung-gedung, mulai perkantoran sampai pusat perbelanjaan.
Direktur muda Yamaha
Di perusahaan yang sebagian sahamnya dipunyai Yamaha itulah Dyon mengasah kemampuan dan meniti karir sebagai insinyur murni. ”Memang cita-cita saya menajdi insinyur sipil, seperti Bung Karno. Saya ikuti alurnya dengan semangat untuk sukses,” kenang Dyon.
Hingga akhirnya, perusahaan itu mengumumkan bahwa Yamaha mencari direktur baru, berusia muda, dan orang Indonesia. Setelah mengajukan diri, ajaibnya Dyon diterima pada tahun 1996! Dirinya pun menjabat sebagai Direktur Pemasaran Yamaha Indonesia di usia 34 tahun.
”Saat itu, sekitar tahun 1995-1996, pihak Jepang ingin ada orang muda dari Indonesia yang punya pemikiran-pemikiran baru. Ini karena Yamaha sedang susah, penjualan turun dan membutuhkan penyegaran produk dari ide orang-orang baru,” kata Dyon.
Artinya, Dyon datang di saat Yamaha sedang ”sakit”. Lalu apa yang dilakukannya untuk membuat Yamaha bangkit? Simak kisahnya dalam artikel lanjutan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.