JAKARTA, KOMPAS.com – Perdebatan tentang status mitra pengemudi di platform transportasi daring dan tuntutan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) semakin ramai di Indonesia.
Isu ini penting karena berkaitan dengan kesejahteraan mitra pengemudi dan keberlanjutan industri ekonomi digital.
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019, mitra pengemudi berstatus sebagai mitra, bukan pekerja formal.
Baca juga: U-Winfly Luncurkan Motor Listrik Terbaru, Jarak Tempuh Tembus 120 Km
Namun, kebijakan pemerintah terkesan tidak konsisten: di satu sisi, mitra pengemudi tidak diakui sebagai pekerja yang berhak atas THR, tetapi di sisi lain, ada dorongan untuk memberikan perlindungan sosial kepada mereka.
Untuk bisa dianggap pekerja formal, seseorang harus memenuhi tiga unsur: pekerjaan, perintah, dan upah.
Dalam kasus mitra pengemudi, mereka bekerja secara mandiri, tidak menerima instruksi langsung dari perusahaan, dan sistem penghasilan berbasis bagi hasil, bukan gaji tetap. Jadi, hubungan mereka lebih mirip dengan kemitraan daripada hubungan kerja formal.
Baca juga: Denza D9 Resmi Jadi Taksi Bluebird
THR diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang hanya berlaku untuk pekerja dengan hubungan kerja formal.
Memaksakan pemberian THR kepada mitra pengemudi akan bertentangan dengan regulasi yang ada, dan dapat menciptakan masalah hukum dan sosial.
Ari Hernawan, Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gajah Mada, mengatakan, pemerintah perlu mengedepankan kebijakan yang jelas dan konsisten untuk mendukung kesejahteraan mitra pengemudi tanpa merusak fleksibilitas industri ride-hailing.
Baca juga: Kenali Perbedaan SPBU Pertamina Warna Merah, Biru dan Hijau
“Jika pemerintah serius ingin mendukung kesejahteraan mitra pengemudi, solusinya bukanlah dengan memaksakan kebijakan yang bertentangan dengan regulasi-sistem hukum yang ada, tetapi misalnya dengan memberikan insentif yang lebih relevan,” ujar Ari, dalam keterangan tertulis (28/2/2025).
“Misalnya, melalui program perlindungan sosial, akses pembiayaan yang lebih mudah, serta skema insentif berbasis produktivitas. Kalaupun ingin memberikan hak-hak sebagai pekerja kepada mitra pengemudi, maka harus dilakukan secara sistemik,” kata dia.
Ari juga mengatakan, persoalan mitra pengemudi ini, melibatkan banyak stakeholders kelembagaan, yang secara koordinatif harusnya duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan tanpa menciptakan permasalahan baru.
Baca juga: Air ev Mendominasi SPK Wuling di IIMS 2025
“Jika pemerintah terus bersikap ambigu dan membiarkan ketidakpastian hukum ini berlarut-larut, bukan tidak mungkin industri ride-hailing dan ekonomi digital Indonesia akan kehilangan daya saingnya,” ucap Ari.
“Alih-alih menarik investor dan mendukung inovasi, kebijakan yang tidak konsisten ini justru bisa membuat perusahaan dan talenta digital mencari peluang di negara lain yang lebih ramah terhadap industri ekonomi gig,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya