Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Lupakan Potensi Bahaya Era Mobil Listrik di Indonesia

Kompas.com - 04/03/2019, 07:42 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Sesuai Kesepakatan Paris alias United Nation Convention on Climate Change (UNFCC) ikut ditandatangani Presiden Indonesia pada 2015 lalu, maka konsekuensi penurunan emisi gas rumah kaca hingga 29 persen pada 2030 wajib terlaksana.

Salah satu upaya pemerintah Indonesia menuju ke arah sana, yaitu menggulirkan program mobil listrik (battery electric vehicle/BEV).

Upaya ini positif, karena memang teknologi masa depan itu adalah energi terbarukan yang ramah lingkungan. Kendaraan berteknologi fuel cell, berbahan bakar hidrogen, merupakan kondisi ideal yang harus dicapai di Indonesia di masa depan, melalui beberapa tahapan teknologi yang berkesiambungan.

Padahal, dengan teknologi mobil listrik, pemerintah juga harus mempersiapkan secara matang, jangan sampai justru celaka di tengah jalan. Masalahnya, masuk ke era mobil listrik itu, ibarat kita pindah dari planet Bumi kemudian pergi ke Mars, dengan karakteristik cuaca, alam, atmosfer yang sangat berbeda.

Baca juga: Berapa Harga Mobil Listrik yang Cocok buat Indonesia?

Prediksi komposisi kendaraan listrik pada 2040.BLOOMBERG Prediksi komposisi kendaraan listrik pada 2040.

Pemerintah

Melihat dari kaca mata pemerintah, tentunya memiliki ambisi untuk menjadi salah satu pemain utama mobil listrik dunia. Pembangunan smelter nikel dan kobalt di Morowali, Sulawesi Tengah, sebagai pemasok komponen baterai, dipercaya bakal menjadi kartu AS yang dimiliki Indonesia untuk kompetitif di mata dunia.

Namun, masih banyak sisi yang gelap, salah satunya soal potensi bahaya mobil listrik yang belum banyak dibahas. Eko Rudianto, ahli teknik otomotif, berbagi pemikirannya soal rencana ini kepada Kompas.com, di Jakarta, Senin (25/2/2019).

Eko mengatakan, salah satu tujuan digulirkan program mobil listrik adalah pengurangan impor BBM yang membebani neraca perdagangan Indonesia. Tapi, dalam konstruksi mobil listrik, selain baterai, panel pengatur, dan motor listrik sebagai komponen utama, ternyata banyak juga parts lain yang harus disesuaikan.

Artinya, kata Eko, jika sampai diproduksi lokal, mobil listrik bakal memicu pasokan impor komponen yang memang belum diproduksi di Indonesia. Jangan sampai impor BBM bisa berkurang, tapi pasokan komponen dari luar negeri semakin mewabah sehingga nilainya sama saja.

Baca juga: Mau Mobil Listrik Bisa Laris Kalau Sekelas Avanza

Bos Tesla, Elon Musk, sedang memperkenalkan SUV terbaru, Model X.noticiasautomotivas.com. Bos Tesla, Elon Musk, sedang memperkenalkan SUV terbaru, Model X.

“Banyak yang bilang, mobil listrik itu sama saja komponennya dengan mobil konvensional, bedanya tidak pakai mesin, diganti motor listrik dan baterai. Tetapi, tidak sesederhana itu, banyak komponen lain yang tadinya tidak perlu digunakan ketika produksi mobil, jadi harus dipertimbangkan untuk digunakan,” kata Eko, yang bertastus mantan kepala engineer Toyota ini.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com