Praktisi Keselamatan Jalan Raya dan sekaligus pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu mengatakan, budaya menggunakan klakson perlu adab dan etika.
"Intinya dalam situasi di ruang publik penggunakan klakson harus dengan adab, karena selain mengganggu orang lain juga menganggu penumpang," ujar Jusri kepada Kompas.com, Kamis (28/12/2023).
Jusri mengatakan, klakson bisa berfungsi sebagai alat penyapa, memberi tahu posisi, alat pengingat buat kendaraan lain, dan juga sebagai tanda kemarahan.
"Jika sedang di daerah kabut penggunaan klakson itu berbeda. Kalau sekali itu "tin" artinya hai, greeting, penyapaan, dengan mengangkat tangan. Sama juga dengan lampu," kata Jusri.
Kemudian kata Jusri, klakson panjang ketika melihat pengemudi yang lalai atau salah bisa jadi alat pengingat, kemudian bisa memberitahukan saat dia berada di area blind spot, sehingga pengguna jalan jadi tahu keberadaan mobil.
"Kemudian ada juga klakson yang menunjukkan pengemudi marah dengan sesuatu, misalnya ada orang yang ngebut padahal di lampu merah, memberikan klakson panjang," ujar Jusri.
"Di negara maju, klakson diberikan dengan nada panjang kalau terjebak dalam kondisi emergency, misal terjebak salju, klakson jadi seperti peluit dengan nada panjang," katanya.
https://otomotif.kompas.com/read/2023/12/29/100200715/budaya-klakson-mobil-di-jalan-jadi-alat-komunikasi-sampai-intimidasi