JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kementerian Perindustrian RI, Hendro Martono menjelaskan bahwa penyebab utama emisi karbon mobil listrik lebih tinggi dari mobil konvensional karena proses pembuatan baterainya.
Sehingga untuk mencapai dekarbonisasi ekosistem electric vehicle (EV) diperlukan energi listrik yang renewable dengan mengurangi bauran sumber listrik dari fosil baik untuk energi kendaraan listrik juga processing mineral untuk pembuatan baterai itu sendiri.
Penjelasan tersebut menegaskan pernyataan Menteri Perindustrian RI (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita terkait tingginya emisi karbon mobil listrik dalam rapat kerja Kemenperin 11 Oktober 2023 lalu. Sebab, tidak semua pihak memahami konteksnya.
"Dalam raker kemarin dibahas upaya-upaya strategis yang merujuk hasil beberapa studi diantaranya oleh McKinsey and Company melihat proses pembuatan baterai EV yang ternyata mengeluarkan emisi sekitar 40 persen lebih tinggi," kata dia dalam keterangan tertulis, Sabtu (21/10/2023).
"Karena, proses pembuatan baterai ada ekstraksi mineral lithium, kobalt, dan nikel," ujar Hendro.
Penggunaan energi baru terbarukan juga diperlukan dalam fasilitas recyling baterai yang tersedia sehingga baterai bekas bisa didaur ulang atau dijadikan energi penyimpanan sekunder.
"Jadi, ekosistem "end to end" dari KBL Berbasis Baterai dapat terbentuk,” ujarnya.
Hendro juga menyampaikan kajian life cyle emision oleh Polestar dan Rivian pada 2021 di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Pasifik. Emisi yang dihasilkan kendaraan listrik lebih rendah, yaitu 39 tonnes of carbon dioxide equivalent (tCO2e) dibandingkan dengan kendaraan listrik hybrid (HEV) sebesar 47 tCO2e, dan kendaraan konvensional atau internal combustion engine (ICE) yang mencapai 55 tCO2e.
"Angka emisi ini berbeda tidak terlalu jauh per ton CO2 per kilometernya jika bersamaan bensin yang digunakan lebih bio atau green fuel," imbuh Hendro.
Ia pun menekankan bahwa life cycle emissions menunjukan jumlah total gas rumah kaca dan partikel yang dikeluarkan selama siklus hidup kendaraan mulai dari produksi hingga penggunaan dan pembuangan (disposal), ditunjukkan dengan satuan tonnes of carbon dioxide equivalent (tCO2e).
“Masih adanya emisi ini sangat tergantung dari input energi bahan bakar dari hulu maupun hilir (kendaraan itu sendiri) dan secara gradual akan menurun bila bahan input ini dilakukan secara green fuel,” ucapnya.
Hendro menyayangkan kritikan sejumlah pihak yang tidak memahami konteks secara tak utuh. Ia lantas menyarankan agar mereka melihat peta jalan KBLBB atau roadmap EV yang sudah dibuat Kemenperin RI untuk mencapai netralitas karbon pada 2060.
Lewat peta jalan itu, pemerintah telah menargetkan untuk mendorong porsi kendaraan listrik roda dua dan empat lebih banyak di tahun 2035 dibanding kendaraan berbahan bakar fosil.
Guna mendorong percepatan EV, Kemenperin bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi tengah merevisi Perpres 55/2019 tentang pecepatan program KBLBB supaya lebih menarik bagi pabrikan EV masuk ke Indonesia.
"Ini diperlukan untuk memperkuat suplai agar masyarakat dapat menikmati kendaraan listrik dengan harga terjangkau. Selain itu, pabrik baterai yang direncanakan beroperasi di 2025 dapat menekan harga EV mengingat faktor biaya terbesarnya ada di komponen baterai," tambah Hendro.
https://otomotif.kompas.com/read/2023/10/22/110100315/penjelasan-kemenperin-tentang-emisi-karbon-mobil-listrik-lebih-tinggi