JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pemberian insentif terhadap pembelian kendaraan bermotor listrik di Indonesia, yang segara diundangkan Pemerintah RI tahun ini, dinilai kurang tepat apabila diterapkan secara nasional.
Pasalnya, hal tersebut akan menimbulkan masalah baru terhadap tata kota khususnya di bidang transportasi perkotaan. Masalah yang muncul, volume angkutan pribadi menjadi lebih banyak sehingga memperparah kondisi keamcetan jalan.
Baiknya, dikatakan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno, subsidi yang mencapai Rp 5 triliun ini, hanya diberikan kepada masyarakat di wilayah tertentu saja.
"Rencana Kementerian Perindustrian memberikan subsidi kendaraan listrik sebaiknya tak diberikan untuk konsumen kendaraan listrik di perkotaan, apalagi Pulau Jawa. Berikanlah ke daera-daerah yang kesulitan mendapatkan BBM," kata dia dalam keterangan tertulis, Senin (23/1/2023).
Sehingga percepatan era elektrifikasi nasional, bisa lebih merata, adil, dan masif. Tidak hanya berpusat pada kota besar saja yang pada akhirnya juga menambah kemacetan karena ada potensi masyarakat menambah unit kendaraannya (bukan ganti mobil).
Terlebih, Indonesia saat ini sedang mengalami krisis energi (BBM). Sebanyak 80 persen BBM subsidi dinikmati pengguna transportasi dan membuat Tanah Air mengimpor lebih dari 50 persen dari kebutuhan seharusnya.
"Bisa dicontoh Kabupaten Asmat, dengan menggunakan kendaraan listrik, ongkos atas angkutan distribusi BBM bisa dihemat. Kemudian kendaraan listrik juga jadi transportasi lokal di sana, jadi manfaat (nilai tambahnya) banyak," kata Djoko.
"Kota Agats, Kab Asmat sudah memberikan contoh suatu wilayah yang telah mengalami kesulitan distribusi BBM tidak selalu mempertahankan tetap menggunakan kendaraan motor bakar. Namun mau beralih menggunakan kendaraan motor listrik," lanjut dia.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian RI Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut pihaknya telah merumuskan pemberian insentif untuk kendaraan listrik tahun ini. Rencananya, subsidi Rp 80 juta akan diberikan terhadap pembelian mobil listrik murni (battery electric vehicle/BEV).
Kemudian, subsidi sebesar Rp 40 juta bagi mobil hibrida, Rp 8 juta untuk pembelian motor listrik, dan motor listrik hasil konversi sebesar Rp 5 juta.
Transportasi Listrik Masyarakat Asmat
Diketahui, Kabupaten Asmat, Papua Selatan, mengalami kesulitan BBM karena biaya distribusi-nya yang sangat tinggi. Akses ke dan dari sana, hanya bisa dijangkau melalui udara dan laut.
Rinciannya, akses udara melalui Bandar Udara Ewer yang terletak di Pulau Ewer. Namun, untuk mencapai Kota Agats, Ibu Kota Kabupaten Asmat, memakan waktu yang lama, yaitu sekitar 20 menit menggunakan speedboat yang tarifnya Rp 100.000 per orang atau Rp 200.000 untuk tiga orang penumpang.
Kemudian di sana, kotanya rata-rata dibangun di atas rawa dengan jaringan jalan berupa jembatan kayu, yang pada mulanya sebesar 4 meter. Sekarang, mulai terbangun suatu jembatan komposit baja beton pada 2010 lalu.
Sehingga untuk membangun angkutan umum terintegrasi antar kota dan wilayah, cukup sulit. Mengakibatkan pemerintah daerah harus memikirkan strategi atas moda lainnya, yang juga tidak membebani konsumsi BBM.
Singkat cerita pada 2018, setidaknya ada sebanyak 1.280 unit motor listrik yang berlalu-lalang dan digunakan oleh penduduk Agats. Jumlah ini, lebih banyak dibanding sepeda motor berbahan bakar minyak karena biasanya hanya digunakan leh pihak kepolisian.
Sedangkan untuk mobil, hanya dipakai rumah sakit dalam bentuk ambulans atau mobil pemerintah.
Saat ini, berdasarkan data Dinas Perhubungan Kabupaten Asmat, sampai November 2018 tercatat sudah ada 3.154 kendaraan listrik yang beroperasi di sana. Yang mana, 3.067 unit di antaranya merupakan roda dua.
https://otomotif.kompas.com/read/2023/01/24/082200115/insentif-kendaraan-listrik-jangan-fokus-ke-pulau-jawa