JAKARTA, KOMPAS.com - Kepolisian makin serius memberantas pemakaian knalpot racing yang tidak sesuai aturan. Salah satunya dengan mengenakan tilang pada pelanggar.
Alasannya, knalpot racing bersuara bising mengganggu kenyamanan. Knalpot yang juga disebut "knalpot brong" itu tidak sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ Pasal 285.
Lantas bagaimana dengan motor besar alias moge. Motor dengan kubikasi besar secara teknis memang menghasilkan suara besar walaupun tetap memakai knalpot standar. Apakah bisa ditilang?
Budiyanto, pemerhati masalah transportasi dan hukum, secara implisit mengatakan tidak bisa ditilang sebab aturan ambang batas suara sudah disesuaikan kubikasi.
"Mengenai ukuran ambang batas suara, saya kira sudah ada ketentuan yang mengatur biasanya disesuaikan dengan besarnya volume silender atau cc-nya," ungkap Budiyanto kepada Kompas.com, Minggu (2/1/2022).
"Moge dengan standar yang asli saya kira sudah disesuaikan dengan cc-nya, sepanjang belum ada modifikasi atau perubahan knalpotnya. Untuk memastikan perlu dilakukan pengecekan," katanya.
Aturan tentang knalpot tertulis dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2009. Motor berkubikasi 80-175 cc, tingkat maksimal kebisingan 80 dB, dan untuk motor di atas 175 cc maksimal bising 83 dB.
Selain itu, Budiyanto mengatakan, jika ingin menindak pengendara motor yang dianggap melanggar, diperlukan alat ukur yang diperlukan guna memastikan pelanggaran tersebut.
"Penegakan hukum terhadap knalpot yang bising selayaknya dibekali alat ukur kebisingan atau menggandeng dari Dinas Perhubungan atau Dinas Lingkungan Hidup yang memiliki alat tersebut," katanya.
"Sehingga, pada suatu saat pengadilan minta alat bukti dapat dipertanggungjawabkan," kata Budiyanto.
Mantan Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya itu mengatakan, penindakan terhadap knalpot bising bisa dilakukan dengan menggandeng pihak lain, yaitu Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perhubungan.
Bawa Alat
Polisi yang akan menilang pengendara motor yang memakai knalpot bising harus melengkapi dengan alat ukur kebisingan suara.
Hal itu sesuai dengan Surat telegram Kapolri nomor ST/1045/V/HUK.6.2./2021 pada pertengahan 2021 mengenai petunjuk dan arahan kepada petugas di lapangan untuk menindak para pengguna knalpot bising.
Menurut Budiyanto, untuk memastikan pelanggaran suara kebisingan, diperlukan alat ukur yang diperlukan untuk memastikan pelanggaran tersebut.
"Penegakan hukum akan dapat berkonsukensi kepada masalah-masalah hukum sehingga setiap aparat penegak hukum pada saat melakukan penegakan hukum supaya betul- betul cermat dan sesuai dgn meksnisme dan SOP," kata Budiyanto kepada Kompas.com, Minggu (2/1/2022).
Budiyanto mengatakan, untuk penindakan knalpot bising seharusnya menggandeng pihak lain yaitu Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perhubungan.
"Penegakan hukum terhadap knalpot yangg bising selayaknya dibekali alat ukur kebisingan atau menggandeng dari Dinas Perhubungan atau Dinas Lingkungan Hidup yang memiliki alat tersebut, sehingga pada suatu saat pengadilan minta alat bukti dapat dipertanggung jawabkan," katanya.
Ada lima dasar hukum yang akan dijadikan landasan untuk melakukan penindakan terhadap para pengguna knalpot bising, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2009 tentang Ambang Batas Kebisingan Kendaraan Bermotor Tipe Baru
4. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
5. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER/4/2016 tentang Standardisasi Bidang Perdagangan.
Langkah-langkah yang dimaksud dalam Surat Telegram Kapolri tersebut, antara lain:
1. Melaksanakan sosialisasi terhadap masyarakat pengguna jalan tentang dampak dari kebisingan suara yang diakibatkan oleh penggunaan knalpot tidak sesuai standar SNI atau tidak memenuhi persyaratan teknis dari ATPM.
2. Berikan peringatan secara persuasif dan edukatif kepada pedagang suku cadang kendaraan bermotor, kemudian bengkel kendaraan bermotor untuk tidak menjual dan tidak melayani pemasangan knalpot yang tidak sesuai standar SNI.
3. Melaksanakan penindakan dengan tegas di jalan bagi pengendara kendaraan bermotor yang menggunakan knalpot tidak sesuai standar SNI karena kebisingan suaranya dapat mengganggu konsentrasi pengendara lainnya sehingga berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
4. Terhadap pelanggaran penggunaan knalpot yang tidak sesuai standar SNI kemudian dapat dikenakan Pasal 285 Ayat (1) Junto Pasal 106 Ayat (3) Junto Pasal 48 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
5. Pada saat melaksanakan penindakan pelanggaran agar berkoordinasi dengan stake holder, antara lain Dinas Lingkungan Hidup dan DLLAJ setempat untuk menyediakan alat pengujian tingkat kebisingan kendaraan bermotor serta tetap menaati protokol kesehatan Covid-19.
Selama ini penggunaan knalpot selain bawaan motor alias yang dikeluarkan pabrikan dianggap melanggar peraturan karena dianggap tidak sesuai dengan standar.
Menurut petugas kepolisian, aturan tersebut ada pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) Pasal 285.
Pasal 285:
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250 juta.
https://otomotif.kompas.com/read/2022/01/03/092200115/bisakah-moge-standar-ditilang-karena-suara-knalpot-bising