JAKARTA, KOMPAS.com - Razia knalpot bising belakangan ini terus digalakkan. Dari pihak kepolisian menganjurkan untuk menggunakan alat pengukur suara atau sound level meter untuk mengukur kebisingan knalpot tersebut.
Tak sedikit juga masyarakat, baik pengendara hingga produsen knalpot, yang meminta petugas kepolisian di lapangan untuk menggunakan alat pengukur tersebut.
Sebab, yang menjadi acuan atau baku mutu adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56 Tahun 2019 tentang baku Mutu Kebisingan Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Sedang Diproduksi Kategori M, Kategori N, dan Kategori L.
Kasi Gar Subdit Gakkum Ditlantas Polda Lampung Kompol Poeloeng Arsa Sidanu, mengatakan, aturan tersebut menjadi acuan pihak kepolisian untuk mengukur kebisingan knalpot racing atau knalpot bising.
"Untuk mengukurnya, kita menggunakan sound level meter atau decibel (dB) meter. Saat pengukuran, jarak dan ketinggian alat pengukurnya adalah 1 meter dari ujung knalpot. Diupayakan untuk mengukurnya di tempat yang hening, tidak ada keramaian," ujar Poeloeng, dalam video di akun YouTube Siger Gakkum Official, yang diunggah 21 Januari 2021.
Padahal, metode yang digunakan tersebut salah kaprah. Hal tersebut diungkapkan oleh Wisnu Eka Yulyanto, Kabid Metrologi dan Kalibrasi Puslitbang Kualitas dan Laboratorium Lingkungan (P3KLL) Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Wisnu mengatakan, pengukuran kebisingan suara kendaraan ada dua, yakni statis dan dinamis. Statis maksudnya dalam keadaan diam dan dinamis adalah kondisi kendaraan bergerak.
"Kalau yang saya katakan emisi bising statis, itu belum ada baku mutunya. Jadi, yang banyak dipakai itu yang dinamis, itu salah kaprah. Kalau yang dinamis yang dipakai, itu metode ujinya lain, untuk yang uji tipe tipe approval," ujar Wisnu, saat dihubungi Kompas.com, Senin (22/3/2021).
Wisnu menambahkan, ada ketentuan-ketentuan khusus dan alatnya tidak murah. Alat yang digunakan bukan sound level meter biasa, bukan secara manual.
"Dulu kita pernah pakai yang manual, tapi banyak masalah. Jadi, kecepatan kendaraannya ada ketentuan, kalau mau mengikutinya itu namanya ECE R41," kata Wisnu, praktisi di bidang kebisingan dan getaran.
Menurut Wisnu, yang digunakan banyak orang ini untuk tipe approval atau homologasi. Makanya, dia katakan semuanya salah kaprah.
"Itu yang bahayanya, kasihan teman-teman pemilik sepeda motor ketangkap semua. Ya, tidak mungkinlah di bawah itu (nilai kebisingannya). Itu digunakan untuk tipe approval dan cara atau metodenya saja sudah salah. Jadi, untuk yang statis memang belum ada," ujar Wisnu.
"Apalagi yang sekarang, peraturan nomor 56, itu alat ujinya sangat mahal. Itu investasi tahun 2011 aja harganya hampir Rp 4 miliar," katanya.
Wisnu mengatakan, kalau dibilang jarak satu meter dari knalpot, itu yang benar sudutnya 45 derajat dari knalpot. Lalu, dilihat ketinggian knalpot. Dengan jarak, satu meter.
Kalau di luar negeri, menurut Wisnu, biasanya ada ketentuan berdasarkan type approval. Nanti, ditambahkan sekian dB. Jadi, kalau type approval itu 78 dB, nanti begitu produknya keluar, sekian tahun beroperasi baru ditambah 15 dB. Kalau kelebihan hasilnya, baru dikatakan melanggar.
"Metode pengukurannya pun tidak sembarangan tempat, background noise harus 10 dB perbedaaannya. Jadi, misalkan saya ukur di Jalan Jend. Sudirman. Saya ukur background noise 72 dB. Lalu, saya ukur knalpot dan hasilnya 75 dB, itu tidak sah. Jadi, minimal yang harus ada bisingnya itu 82 dB, yang bisa kita ambil valid datanya," ujar Wisnu.
Jadi, salah caranya jika menggunakan alat ukur saat melakukan razia knalpot bising, yang baku mutunya mengacu pada Permen LHK No. 56 Tahun 2019.
https://otomotif.kompas.com/read/2021/03/23/123100615/kementerian-lingkungan-hidup-sebut-metode-razia-knalpot-bising-salah