JAKARTA, KOMPAS.com - Sampai saat ini masalah truk overdimension overload (ODOL) tak kunjung selesai. Meski pengawasan dan regulasi sudah dibuat, tapi dalam kenyataanya masih banyak berkeliaran, bahkan mudah di temui di jalan tol.
Pengamat Transportasi dari Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno mengatakan, persoalan ODOL tidak bisa dibilang sederhana yang hanya terkait dengan pelanggaran kelebihan muatan serta berakibat kemacetan, kerusakan jalan, dan tidak efisiennya biaya logistik darat selama ini.
Menurut Djoko, terkait masalah ODOL penangananya tak hanya bisa dari regulasi, tapi hari dimulai dari muaranya, yakni mulai dari titik loading atau muat barang, seperti di pelabuhan atau di area industri serta di pusat logistik lainnya.
"Hasil pengamatan di lapangan menemukan berbagai persoalan keamanan dan pungli yang sangat besar serta menahun tanpa dapat diselesaikan, baik oleh regulator maupun aparat keamanan. Persoalan tersebut menjadi salah satu penyebab utama tidak efektifnya sistem logistik darat di Indonesia," ucap Djoko kepada Kompas.com, Selasa (1/9/2020).
Djoko mencontohkan, saat truk akan memuat barang di kawasan industri di Jawa Tengah, para sopir dikenakan uang pungli oleh preman yang disebut sebagai uang koordinasi penanganan barang untuk sekali masuk ketika akan memuat barang.
Pungutan liar itu kisarannya cukup besar, yakni Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta, dan uang kutipan di jalan sebesar Rp 500.000 - Rp 750.000. Jadi sekali jalan awak truk harus mengeluarkan uang sekitar Rp 2,250 juta
Sementara itu untuk mendapatkan muatan mereka harus mengantri antara satu sampai tiga hari, sehingga awak truk juga memerlukan biaya tambahan makan dan lain-lain. Jika ingin cepat, tentu ada biaya tambahan lain lagi yang harus dibayarkan.
"Misal jika ada kontrak dengan sebuah pabrik untuk mengangkut sejumlah barang dengan tiga truk 20 ton, dibandingkan pemilik atau sopir haru harus mengeluarkan uang keamanan sebanyak tiga kali untuk mengangkut, lebih baik cukup diangkut oleh dua truk yang disulap jadi truk ODOL, sehingga bisa lebih menghemat," ujar Djoko.
"Tinggal cadangkan lagi sekitar Rp 200.000 per truk per trip kalau ada kutipan lain misalnya di rest area jalan tol atau lokasi biasa truk istirahat di jalan arteri, dari pada mereka harus kehilangan ban serep atau solar disedot, jadi masih ada penghematan sekitar Rp 2.300.000 per trip per truk," kata dia.
Djoko mengatakan harusnya regulator dan aparat tidak menutup mata akan adanya hal tersebut, atau patut diduga ada oknum yang justruk mengambil keuntungan dari masalah manajemen logistrik darat tersebut.
"Sehingga regulator dan aparat hanya fokus pada truk ODOL saja dan ini tidak menyelesaikan akar permasalahannya. Para pemilik dan awak truk lebih senang tidak ODOL karena kerugian kerusakan truknya pun makin kecil, tapi di lain sisi, kalau tidak ODOL biaya angkut tidak tertutupi," ucap Djoko.
Pengusaha logistik atau truk bisa berhemat, tetapi perawatan jalan menghabiskan dana yang tidak sedikit. Belum lagi kerugian karena akibat truk ODOL menyebabkan banyak kecelakaan yang merengut nyawa manusia dan kerugian material lainnya.
Sebagai contoh di 11 ruas jalan tol yang dikelola oleh PT Jasa Marga Tbk, hingga Mei 2020 ada 272 atau 48 persen kecelakaan di jalan tol yang disebabkan oleh truk. Terbanyak adalah patah sumbu roda atau as, kecepatan rendah sehingga ditabrak dari belakang dan rem blong.
"Ketiga penyebab utama kecelakaan fatal ini sebagai dampak kondisi truk ODOL. Sebanyak 29.02 persen kecelakaan tabrak dari belakang di jalan tol melibatkan truk," kata Djoko.
https://otomotif.kompas.com/read/2020/09/02/081200115/masalah-truk-odol-tak-sekadar-regulasi-tapi-juga-pungli