Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cegah ODOL, Pengamat Minta Ada Jembatan Timbang di Kawasan Industri

JAKARTA, KOMPAS.com - Guna menekan peredaran truk yang over dimension dan over loading alias ODOL, pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Djoko Setijowarno, meminta ada penanganan serius dari pemerintah.

Selain dari segi hukum, hal terpenting lainnya juga dari segi pengawasan, yakni melalui penanganan Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) atau jembatan timbang.

Menurut Djoko, UPPKB dengan alat penimbangan yang dipasang secata tetap dapat terletak pada kawasan industri, sentra produksi, pelabuhan, jalan tol, dan lokasi strategis lainnya. Namun saat ini baru hanya di jalan nasional, tol, dan pelabuhan.

"Sementara di sentra produksi dan kawasan industri belum dilakukan. Alangkah baiknya, jika Menteri Perindustrian (Menperin) menyegerakan keberadaan UPPKB di sentra produksi dan kawasan industri, ketimbang meminta pelambatan kebijakan bebas ODOL," ujar Djoko dalam keterangan resminya, Minggu (23/2/2020).

Djoko menjelaskan, sebelumnya Direktur Prasarana Ditjenhubdat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Risal Wasal, mengatakan ada lima konsep peningkatan prasarana untuk UPPKB. Mulai dari transparan, lebih rapih dan bersih, terang benderang, informatif, serta lebih selamat dan aman.

Berdasarkan data UPPKB, selama Februari 2019 pelanggaran memang semakin berkurang. Sedangkan untuk jenis pelanggaran terbesar masih didominasi over loading, yakni 90 persen, pelanggaran administrasi 9 persen, dan pelanggaran over dimensi 1 persen.

Agar kendaraan tidak over dimension, saat uji kir perlu pengetatan sesuai aturan. Supaya tidak over loading, saat penimbangan di UPPKB tidak perlu toleransi kelebihan, polisi juga berwenang menindak tanpa kompromi jika menemui ODOL di jalan raya.

"Sebab itu, sangat diperlukan sinergi pengawasan antar institusi untuk menuntaskan ODOL. Penyelenggaraan UPPKB oleh Ditjenhubdat, uji kir oleh Dishub di Pemda, Polisi Lalu Lintas mengawasi aktivitas di jalan raya, Hakim memutuskan ganjaran hukuman tertinggi, supaya ada efek jera untuk tidak mengulang," kata Djoko yang juga merupakan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat.

Mengutip dari Buku Potret Keselamatan Lalu Lintas di Indonesia Edisi 3, Djoko menjelaskan bila faktor rem tak berfungsi menjadi penyebab kejadian kecelakaan lalu lintas tertinggi. Kontribusinya mencapai 35,76 persen, setelah itu akibat lampu tidak berfungsi 14,35 persen, dan kerusakan roda sebesar 8,79 persen.

Faktor rem yang tidak berfungsi diduga terbesar disebabkan oleh mobil barang yang bermuatan lebih atau over loading. Selain itu juga karena kurang mahirnya sopir yang mengendarakannya.

PT Jasa Marga pada 2019, menjelaskan bila kejadian kecelakaan tabrak belakang yang melibatkan angkutan barang sebesar 26,88 persen. Persentase kelebihan muatan yang terbanyak terjadi, yaitu 21-50 persen dari persyaratan dalam ketentuan mengenai Jumlah Berat yang Diijinkan (JBI).

Dengan komposisi rata-rata Non Golongan I sebesar 14,0 persen, berdampak pada kecelakaan sebanyak 48,02 persen yang melibatkan kendaraan angkutan barang di ruas tol milik PT Jasa Marga.

"Revisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk sanksi denda dan kurungan bagi pelanggar kendaraan ODOL perlu ditingkatkan. Pemilik barang dapat dikenakan sanksi, bukan pengemudi yang selalu menjadi tumpuan kesalahan," ujar Djoko.

https://otomotif.kompas.com/read/2020/02/24/134200515/cegah-odol-pengamat-minta-ada-jembatan-timbang-di-kawasan-industri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke